Neraka 'Online Scam' ASEAN, Kemiskinan Jadi Umpan Ribuan WNI Jadi Korban TPPO

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:33 WIB
Neraka 'Online Scam' ASEAN, Kemiskinan Jadi Umpan Ribuan WNI Jadi Korban TPPO
Ilustrasi korban TPPO. (Pixabay)
Baca 10 detik
  • Komnas HAM mengonfirmasi TPPO dengan modus *online scam* menjadi ancaman serius bagi PMI di Asia Tenggara sejak 2021.
  • Sebanyak 7.628 WNI terjerat sindikat ini, umumnya direkrut melalui penawaran palsu dan mengalami kerja paksa serta penyekapan.
  • Penyelesaian masalah ini memerlukan respons sistemik berbasis HAM, meliputi pencegahan, perlindungan korban, dan penguatan kerja sama regional.

Suara.com - Jerat kemiskinan dan lemahnya perlindungan negara telah membuka gerbang neraka bagi ribuan Warga Negara Indonesia (WNI) di Asia Tenggara. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis temuan kajian yang mengonfirmasi bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus penipuan online (online scam) kini menjadi ancaman serius yang meluas dan merenggut hak asasi para Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Data dari Kementerian Luar Negeri yang dikutip Komnas HAM melukiskan gambaran suram: sejak 2021 hingga Maret 2025, sebanyak 7.628 WNI telah terjerat dalam sindikat online scam di negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand, dan Filipina. Angka ini diyakini hanyalah puncak dari gunung es.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, membeberkan bagaimana para korban, yang mayoritas terdesak oleh kebutuhan ekonomi, terperangkap dalam lingkaran setan ini.

“Mayoritas korban direkrut melalui tawaran pekerjaan palsu di media sosial, diberangkatkan secara non-prosedural, dan kemudian mengalami kerja paksa, penyekapan, serta kekerasan fisik dan psikologis,” kata Anis, di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Kajian Komnas HAM menegaskan bahwa praktik ini memenuhi seluruh unsur TPPO. Prosesnya dimulai dari iming-iming lowongan kerja bergaji fantastis, namun berakhir pada eksploitasi tanpa ampun.

Korban dipaksa bekerja di luar batas kemanusiaan, paspor mereka dirampas, dan utang palsu ribuan dolar AS menjerat mereka agar tak bisa lari. Kondisi kerja mereka tak ubahnya perbudakan modern.

“Korban dipaksa bekerja hingga 14–18 jam per hari, paspor dan dokumen perjalanan disita, dikenakan denda ribuan dolar Amerika Serikat, serta mengalami intimidasi, penyiksaan, kekerasan seksual dan ancaman diperjualbelikan ke perusahaan lain apabila tidak mencapai target yang ditentukan,” lanjut Anis.

Akar masalah dari fenomena tragis ini, menurut Anis, sangat jelas. Faktor kemiskinan yang mendera, ditambah rendahnya literasi digital, sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, serta yang paling krusial adalah lemahnya sistem perlindungan negara sebelum keberangkatan, menjadi kombinasi mematikan yang membuat WNI sangat rentan.

“Kajian ini juga mencatat bahwa perekrutan kerap melibatkan orang terdekat atau sesama PMI, sehingga membentuk rantai perdagangan orang berbasis relasi sosial yang sulit terdeteksi,” jelasnya.

Baca Juga: Menteri Mukhtarudin: Siapkan 500.000 Pekerja Migran Indonesia pada 2026

Kamboja menjadi sorotan utama sebagai salah satu negara dengan kasus terbanyak. Data dari KBRI Phnom Penh menunjukkan lonjakan kematian WNI hingga 75 persen pada awal 2025, di mana sebagian besar kasusnya terkait erat dengan praktik online scam.

Di tengah peringatan Hari Buruh Migran Internasional, ironi ini semakin terasa menyakitkan.

“Temuan Komnas HAM menunjukkan bahwa modus online scam telah memperluas bentuk kerentanan pekerja migran, terutama mereka yang berangkat secara non-prosedural dan minim perlindungan negara,” ungkap Anis.

Komnas HAM menegaskan bahwa kejahatan ini bukanlah sekadar sengketa ketenagakerjaan atau kejahatan siber biasa. Ini adalah pelanggaran HAM berat yang merampas hak hidup, kebebasan, dan martabat manusia.

Sayangnya, penanganan di negara tujuan yang seringkali hanya menganggapnya sebagai masalah ketenagakerjaan semakin memperburuk posisi korban.

“Komnas HAM menilai bahwa TPPO dengan modus online scam harus diperlakukan sebagai bentuk baru perdagangan orang yang terorganisir dan lintas negara, sehingga memerlukan respons yang sistemik dan berbasis HAM,” ucapnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI