Ketujuh, somasi yang dilayangkan pejabat publik semakin menegaskan bahwa pemangku kebijakan saat ini anti kritik.
Kemudian delapan, pelibatan TNI dan BIN dalam Penanganan Pandemi Covid-19 yang memperlihatkan bentuk campur tangan terlalu jauh militer terhadap urusan sipil.
Selanjutnya poin kesembilan, terkait penghapusan mural yang semakin memperlihatkan watak anti kritik pemerintah.
Kesepuluh, penangkapan pembentang poster yang semakin mempertegas watak represif Kepolisian khususnya terhadap pengkritik pemerintah.
Rozi menegaskan, pola-pola semacam tentu tidak dapat diteruskan. Sebab akan memperparah kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tahun 2022.
"Masyarakat akan semakin takut menyampaikan kritik karena dibungkam dengan berbagai metode," imbuh dia.
Perwakilan KontraS lainnya, Rivanlee Anandar mengatakan, sejumlah faktor yang membikin menyusutnya kebebasan sipil. Misalnya, polarisasi politik yang tumbuh akibat karena adanya politik identitas hingga adanya tingkat nasionalisme yang tinggi.
"Kedua, yang jadi penyebab dari menyusutnya kebebasan sipil adalah represi dari demokrasi itu sendiri dan kebangkitan rezim otoritarian," kata Rivanlee.
Rivanlee menjelaskan, kebangkitan rezim otoritarian itu ditandai dari beberapa hal. Pertama, pembuatan aturan yang mendiskriminasi kebebasan sipil warga negara, kemudian pembiaran terhadap praktik-praktik represif oleh alat negara, dan ketiga mulai bergeraknya pejabat publik untuk langsung menyerang atau melakukan pembungkaman terhadap warga negara.
Baca Juga: KontraS Sebut Kondisi Demokrasi Indonesia Mengalami Penyusutan
"Faktor itu menjadi penanda bahwa beberapa cara-cara yang dilakukan negara belakangan ini, menunjukkan serangan-serangan terhadap kebebasan sipil," papar dia.
Pihak-pihak yang menjadi target pembungkaman dalam gelanggang demokrasi juga beraneka ragam. Misalnya human right defender atau pembela HAM, aktivis antikorpusi, jurnalis, hingga akademisi.
Dia menyebut, target-target itu memang kerap terjadi di Indonesia, terutama dalam beberapa bulan ke belakang.
Pembungkaman itu dalam pandangan Rivanlee tidak disertai dengan alat ukur atau parameter yang jelas.
"Artinya dilakukan secara sewenang-wenang," ucap dia.
Dalam temuannya, KontraS menyebut bahwa pembungkaman itu berimbas pada takutnya orang-orang untuk bereksprsi di ruang-ruang yang ada. Baik ruang digital maupun di ruang nyata.