Kepala BMKG: Potensi Kerugian karena Krisis Air Bersih Bisa Mencapai Rp 544 Triliun

Rabu, 23 Februari 2022 | 02:15 WIB
Kepala BMKG: Potensi Kerugian karena Krisis Air Bersih Bisa Mencapai Rp 544 Triliun
Warga mengambil air dari lubang buatan yang digali di dasar sungai di Dusun Asemrudung, Geyer, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (21/9/2020). [ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan dampak serius perubahan iklim terhadap ketersediaan air bersih di Indonesia.

Perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, kenaikan muka air, dan kejadian iklim ekstrem akan menyebabkan krisis air bersih jika perubahan iklim tidak ditangani secara serius.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan bahkan hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan, bahwa dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

"Secara ekonomi, kerugian sektor air yang dapat dikurangi dengan upaya adaptasi maksimal sebesar 17,77 T selama periode 2020-2024," ujar Dwikorita dalam Focus Group Discussion (FGD) Kajian Perubahan Iklim Terhadap Tata Kelola Air, dalam keterangannya, Selasa (22/2/2022).

Dwikorita menyebut, krisis air bersih tersebut terjadi akibat tingginya kebutuhan air baku.

Terutama kata dia di kawasan perkotaan dan padat penduduk. Sedangkan, perubahan iklim mengakibatkan kekeringan dan pencemaran air yang mempengaruhi ketersediaan air bersih yang dibutukan masyarakat untuk air minum dan sanitasi.

Adapun dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diperkirakan meningkat hingga 2030. Proporsi luas wilayah krisis air meningkat dari 6,0% di tahun 2000 menjadi 9,6% di tahun 2045.

"Air tidak hanya dibutuhkan untuk rumah tangga, namun juga industri dan pertanian. Karena permintaannya lebih besar dari ketersediaan maka krisis air pun terjadi. Penurunan tidak hanya dari sisi kuantitas, namun juga kualitas air yang selanjutnya berpengaruh terhadap kesehatan," imbuh Dwikorita.

Selain itu, Dwikorita menuturkan, tren kenaikan suhu udara di Indonesia terjadi di sebagian besar wilayah.

Baca Juga: Didemo Warga, Pemprov DKI Janjikan Percepatan Realisasi 100 Kios Air di Muara Angke

Dengan menggunakan data observasi BMKG (1981-2020) menunjukkan tren positif dengan besaran yang bervariasi dengan nilai sekitar 0.03 °C setiap tahunnya. Sehingga dalam 30 tahun estimasi kenaikan suhu udara akan bertambah sebesar 0.9 °C.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI