Sang majikan tidak terima dengan penjelasan yang dilontarkan oleh Nanik. Sehingga ia justru dimarahi balik oleh majikannya dengan menyebutnya tidak sopan dan sok tahu. Kondisi kerja yang demikian membuatnya merasa tertekan dan terganggu secara mental. Akhirnya Nanik hanya bertahan hingga waktu kontraknya habis di bulan ketiga.
Diskriminasi, hingga intimidasi yang dialami oleh Lilis dan juga Nanik sebenarnya bukan hanya khas di situasi pandemi Covid-19. Sebelum pagebluk melanda, PRT di Indonesia hidup dalam belenggu diskriminasi hingga kekerasan.
Salah satunya seperti yang dialami Yuni, yang telah bekerja sebagai PRT lebih dari 10 tahun. Diskriminasi dan intimidasi seolah menjadi makanan sehari-harinya. Salah satu yang ia ingat terjadi sekitar tahun 2016. Waktu itu Yuni diminta untuk menjemput anak majikannya di sebuah sekolah internasional di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Yuni datang 30 menit lebih awal sebelum jam keluar anak sekolah. Matanya tertuju pada sebuah bangku panjang di pinggir taman di sekolah itu. Karena waktu menunggu masih cukup lama, Yuni memutuskan untuk duduk di kursi panjang tersebut. Saat itu kursi tersebut juga kosong. Tak lama setelah ia duduk Yuni didatangi oleh seorang lelaki dengan seragam penjaga keamanan. Ia melarang Yuni untuk duduk di kursi tersebut.
“Loh ini kan kosong, pak, memangnya kenapa?” tanya Yuni keheranan.
“Nggak boleh memang itu sudah peraturannya,” jawab petugas keamanan tadi.
“Loh peraturan, maksudnya?” ujar Yuni lagi.
“Iya, yang duduk di situ itu harusnya majikan, bukan pembantu!” kata petugas keamanan itu.
“Kok gitu banget ya peraturan manajemennya,” tandas Yuni.
Baca Juga: Stigma dan Diskriminasi Masih Jadi Tantangan Eliminasi Kusta di Indonesia
“Iya, mba. Ikuti saja aturannya. Kalau mau jemput diri aja di pojok sana,” kata lelaki itu lagi.
Mendapat perlakuan yang seperti itu, Yuni merasa bahwa dirinya didiskriminasi oleh petugas maupun aturan dari sekolah tersebut.
Mengurai Akar Diskriminasi Pekerja Rumah Tangga
Dalam jurnal berjudul “Diskriminasi, Kekerasan, dan Pengabaian Hak: Pekerja Rumah Tangga Tanpa Perlindungan Hukum’, Anita Dhewy dari Jurnal Perempuan sempat menulis bahwa PRT seringkali berada di lingkungan kerja yang tidak layak, yang menurutnya bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan. Meskipun kondisi ini tidak dilihat sebagai kekerasan dan seringkali dipandang sebagai sesuatu yang biasa.
Dalam jurnal tersebut, Anita juga menulis cerita seorang PRT tidak diperbolehkan duduk di lobi. Serupa dengan yang dialami oleh Yuni. Menurutnya peraturan diskriminatif tersebut mengandung bias kelas. Salah satu yang digarisbawahi oleh Anita, bahwa secara historis, budaya, dan sosial, hubungan dalam pekerjaan rumah tangga, antara majikan dan pekerja rumah tangga seringkali tidak memiliki batasan yang jelas antara seorang pekerja dan anggota keluarga.

Argumen itu bisa ditelusuri melintasi zaman. PRT sendiri, menurut Anita punya berbagai jenis panggilan di setiap zaman. DI era kerajaan atau feodal PRT punya panggilan “abdi”, khususnya di Kerajaan Jawa. Pada zaman penjajahan belanda panggilan itu berubah menjadi “bedinde” atau ‘ngenger” dalam konteks masyarakat Jawa, kemudian “pembantu dalam masyarakat kontemporer, hingga “pekerja” seperti yang juga dilakukan oleh kelompok PRT sebagai cara mengakui profesi mereka.