"Awalnya, kami fokus mengamankan semua yang tersedia untuk umum di internet," katanya.
Mereka menggunakan program pencari situs web lembaga-lembaga budaya dan mengunduh informasi seperti dokumen, foto karya seni, tur virtual monumen-monumen bersejarah, film, produksi musik rakyat, dan pola pakaian tradisional.
Selama tiga minggu terakhir, SUCHO telah mengamankan 10 terabyte data.
Pada awalnya, Sebastian membiayai sendiri proyek itu, tetapi sekarang SUCHO mendapat dukungan dari organisasi teknologi dan penyedia layanan internet yang menyediakan server mereka secara gratis.
"Lembaga budaya, juga di negara-negara miskin, melakukan pekerjaan yang baik dalam mendigitalisasi warisan mereka. Namun, tidak ada yang berpikir banyak tentang bagaimana mengamankan data-datanya, dan itu adalah sesuatu yang membuat saya khawatir,” katanya.
Seseorang perlu bekerja sama secara internasional untuk menciptakan infrastruktur digital, di mana museum regional kecil pun dapat mengamankan data mereka dengan sedikit usaha dan tanpa biaya, tambahnya.
Mengamankan barang budaya secara digital Sekarang SUCHO bekerja sama dengan Harvard Ukrainian Research Institute dan University of Alberta untuk menciptakan infrastruktur guna melindungi warisan budaya dari perang atau bencana alam.
Ketika mengerjakan tesis doktoralnya tentang tokoh-tokoh revolusi pada abad ke-19, kesulitan Sebastian Majstorovic adalah karena banyak dokumen berharga yang tidak lagi tersedia.
"Arsip utama untuk penelitian saya ada di Wina dan Milan. Tetapi arsip di Milan dihancurkan oleh Jerman selama Perang Dunia II, dan dokumen di Wina berada di Gedung Kehakiman, yang dibakar selama kerusuhan tahun 1920-an," kata Majstorovic.
Baca Juga: Perang Ukraina: Penghuni Bonbin Terperangkap, Hewan Stres Bahkan Bunuh Diri
Banyak sejarawan memang dihadapkan pada masalah serupa. "Itulah mengapa salinan yang diamankan secara digital sangat penting," katanya.