“Yang ditujukan kepada Presiden, untuk selesaikan persoalan ini. Namun Pak Presiden abaikan itu dan fokus hanya pada masalah perebutan saham itu. Dan sahamnya kan sudah mereka peroleh, tetapi rekomendasi Komnas HAM yang menggantung itu sampai hari ini tidak ditindaklanjuti. Makanya, kami sebut mereka ini korban penerapan kebijakan Minerba itu,” tambah Gobay.
Faktanya, sebagai pemegang saham mayoritas, tanggung jawab penyelesaian 8.300 buruh mogok ini, menurut Direktur LBH Papua ini, ada di tangan pemerintah. Gobay juga mengingatkan, pasal 28, ayat 4 UUD 1945 berisi tentang penghormatan, perlindungan dan pemenuhan serta penegakan HAM. Karena itu, pemerintah bertugas sepenuhnya menyelesaikan persoalan ini.
Desakan yang sama diberikan kepada Pemerintah Daerah Papua, karena menurut kesepakatan awal, mereka adalah pemegang 10 persen saham Freeport. Namun, sebagai pemegang saham, Gubernur Papua hanya mengirimkan surat desakan kepada PT Freeport pada 2018. Surat itu berisi pernyataan bahwa pemogokan adalah hak yang sah dan agar PT Freeport segera mengaktifkan kembali 8.300 dan membayarkan upah mereka.

Gobay mengingatkan, pemogokan ini adalah masalah kemanusiaan juga. Bersama 8.300 buruh itu, ada juga keluarga mereka yang kehilangan sumber pendapatan. Termasuk di dalamnya kehilangan kepesertaan BPJS, untuk membiayai kesehatan mereka.
“Sikap negara yang hanya melihat ini seperti menghendaki buruh ini mati pelan-pelan. Apalagi fakta hari ini, sudah lebih dari seratus orang buruh yang meninggal, yang mogok, karena tidak mampu membayar biaya pengobatan akibat BPJS-nya dicabut,” tegas Gobay.
VOA telah menghubungi Manager External & Media Relations Corporate Communications PT Freeport Indonesia, Kerry Yarangga. PT Freeport memilih untuk tidak berkomentar mengenai persoalan ini. (Sumber: VOA)