Akibat itu semua, produksi beras secara nasional walaupun ada kenaikan, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia masih terus mengimpor beras sebagai stok nasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras masih terjadi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018 Indonesia mengimpor beras 2.253.824,5 ton dan tahun 2019 impor menurun hanya 444.508,8 ton.
Lalu tahun 2020 impor turun lagi 356.286 ton beras. Sedangkan tahun 2021 volume impor beras naik lagi 14 persen lebih mencapai 407,74 ribu ton.
Ke depan perlu terus dikembangkan budi daya padi skala luas dengan melibatkan swasta melalui rice estate sebagai lumbung pangan nasional di luar Pulau Jawa.
Sejumlah daerah juga berlomba untuk mampu berswasembada padi dengan terus mencetak sawah baru. Keberadaan bendungan baru harus dimanfaatkan daerah dengan pembangunan irigasi sampai tersier, demi mengawal produktivitas sawah melalui penyuluh yang tangguh.
Bagaimana dengan kedelai? Dari ketiga makanan pokok tersebut, swasembada kedelai adalah yang tersulit dari sisi besarnya ketergantungan impor dan soal harga jual kedelai yang belum menggiurkan petani.
Berbeda dengan padi yang punya harga dasar dan dijamin ditampung Bulog, maka nasib harga kedelai belum bagus. Petani tak mau rugi, sehingga kedelai masih belum menjadi prioritas, apalagi hanya ditanam saat musim gadu atau sebagai tanaman sela.
Indonesia pernah mencatat produksi kedelai tertinggi, yaitu mencapai 1,87 juta ton pada 1991 sampai 1992. Namun sejak saat itu terus menurun. Padahal kebutuhan kedelai, khususnya untuk tahu dan tempe terus meningkat.
Produksi kedelai saat ini hanya sekitar 10 persen kebutuhan nasional, sehingga ketika harga impor kedelai naik, otomatis harga dalam negeri juga melonjak.
Baca Juga: Jelang Lawan Nepal, Timnas Indonesia Dapat Dukungan Spesial dari Luis Milla: Vamos, Indonesia
Jagung sempat membanggakan
Produksi jagung sempat dipuji Presiden Jokowi saat membuka Pekan Nasional Tani dan Nelayan (Penas KTNA) di Banda Aceh, 6 Mei 2017. Saat itu Jokowi mengapresiasi kinerja petani di seluruh Indonesia yang mendukung peningkatan produksi jagung.
Indonesia dapat menekan ketergantungan pada jagung impor 3,6 juta ton pada 2015, menjadi 900.000 ton pada 2016, setelah pemerintah memutuskan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp3.150 per kg.
Menteri Pertanian, saat itu Amran Sulaeman, bahkan meyakini produksi jagung Indonesia sudah bisa surplus sesegera mungkin atau di 2018.
Faktanya impor jagung terus terjadi dan di Tahun 2020 sampai 2021, peternak ayam menjerit karena harga jagung melonjak tinggi, sementara harga daging ayam dan telur tidak bisa naik terlalu tinggi.
Sepanjang setahun terakhir, harga telur dan daging ayam ras bisa fluktuatif setiap hari karena jagung dan bungkil kedelai yang merupakan bahan utama pakan juga naik turun.