Data dari AAPP menunjukkan kebanyakan mereka dijatuhi hukuman menurut UU Terorisme atau Pasal 302 hukum pidana setempat mengenai hukuman terhadap kasus pembunuhan.
Tetapi U Bo Kyi mengatakan hukum pidana di negeri itu digunakan "sebagai senjata untuk menindas warga".
Menurut AAPP, lebih dari 2100 orang tewas di tangan junta militer sejak kudeta terjadi, dan sejumlah tentara yang melarikan diri dari kesatuan mereka mengatakan kepada BBC jika militer membakar orang hidup-hidup dan memerkosa perempuan.
Anak-anak jadi sandera menurut PBB
Pelapor khusus PBB Tom Andrews kepada Radio ABC pekan ini mengatakan eksekusi terhadap empat tahanan politik tersebut adalah "tindakan yang dilakukan oleh junta yang panik".
Dari sekitar 14 ribu orang yang ditahan sejak kudeta, menurut PBB 1.400 orang di antaranya adalah anak-anak.
"Ada 61 anak-anak yang ditahan junta sebagai sandera sehingga orang tua mereka atau anggota keluarga yang lain menyerahkan diri," katanya.
"Jadi eksekusi ini adalah dalam konteks tindakan brutal yang sangat mengerikan dan mendalam, yang menjadi mimpi buruk bagi warga Myanmar yang hidup di negeri tersebut."
Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, mengatakan Australia sangat "prihatin" dengan eksekusi dan menyerukan diakhirinya kekerasan dengan mempertimbangkan penambahan sanksi terhadap rezim militer.
Juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun, membela keputusan melakukan eksekusi dengan mengatakan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Bebaskan Ribuan Tahanan Politik
"Saya tahu ini akan menimbulkan kritikan, namun ini dilakukan demi keadilan. Bukan masalah pribadi," katanya.
Kementerian Luar Negeri Myanmar juga mengkritik negara-negara yang mengutuk eksekusi.
"Kementerian melihat bahwa keprihatinan dan kritik mengenai tindakan legal yang dilakukan Pemerintah Myanmar sama dengan campur tangan terhadap masalah dalam negeri dan secara tidak langsung mendukung terorisme," kata mereka dalam pernyataan.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News