Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemananan ikut angkat bicara terkait kasus kematian Brigadir Nofryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Di mana pada proses reformasi kepolisian masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
Menurut koalisi, salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait dengan masih terjadinya penggunaan kekuatan dan penyalahgunaan kewenangan yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi- aksi kekerasan dan tindakan sewenang-wenang lainnya.
"Dalam beberapa kasus, beberapa praktik penyiksaaan dan pelanggaran HAM lainnya masih terjadi," tulis koalisi melalui keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Kamis (28/7/2022).
Koalisi menilai terkait dengan Kematian Brigadir Joshua yang menjadi sorotan publik beberapa belakangan ini tentu perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan organisasi Polri untuk menyelesaikannya. Proses hukum terhadap kasus ini perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Berbagai fakta-fakta hukum yang terjadi perlu dibuka secara terang benderang kepada masyarakat dan tentu tidak boleh ada yang di tutup-tutupi.
Siapa pun yang diduga terlibat dan juga menghalang-halangi penyelidikan kasus kematian ini secara akuntabel, bisa kena jerat pidana (obstruction of justice, 233 KUHP), tidak hanya berhenti pada soal etik dan disiplin.
Koalisi menilai beragam spekulasi dan kejanggalan yang berujung pada pertanyaan di publik dan keluarga korban terkait dengan kasus ini perlu dijawab secara transparan dan akuntabel oleh tim yang telah dibentuk oleh Polri.
Kerja tim dalam menyelesaikan kasus ini akan menjadi perhatian serius oleh masyarakat sehingga pengawasan oleh masyarakat menjadi bagian elemen penting dalam menuntaskan kasus ini.
Lebih dari itu, peran-peran lembaga pengawasan eksternal seperti Kompolnas dan Komnas HAM perlu juga melakukan pengawasan yang efektif terhadap kasus ini. Peran lembaga- lembaga eksternal itu perlu bekerja secara professional dan penting untuk menjaga jarak di dalam melakukan pengawasannya demi tercipatnya pengawasan yang independent dan akuntabel.
Baca Juga: Terkait Kasus Penembakan Brigadir J, Irjen Napoleon Bonaparte Singgung Slogan Presisi Polri
Khusus pengguanaan kekuatan senjata api oleh kepolisian. Koalisi menilai memang menjadi masalah serius yang perlu dibenahi dalam institusi kepolisian.
Aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.
Terdapat tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality).
Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan,
aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan. Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian.
Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.
Penggunaan senjata api jelas sebagian kecil dari problem kewenangan besar Kepolisian yang minim pengawasan dan kontrol sehingga berujung pada pelanggaran HAM dan tindakan sewenang-wenang lainnya.
Laporan dari Komnas HAM menunjukkan sebanyak 71 tindakan kekerasan dan 39 tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian dalam kurun waktu dua tahun terakhir yaitu 2020-2021. Data lain dari KontraS, pada Juni 2021 hingga Mei 2022, terdapat 31 kasus penyiksaan Polisi, data ini selalu berualang tiap tahunnya.