Suara.com - Tragedi Kanjuruhan masih dalam proses penyelidikan hingga saat ini. Tak hanya diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia, peristiwa yang menewaskan 131 orang itu bahkan disorot sampai diinvestigasi oleh media luar negeri.
Penyebab kejadian pun dipicu oleh gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan ke tribun penonton. Gas air mata yang membuat mata pedih dan dada sesak itu tentu langsung memicu kepanikan massal, di mana para suporter berusaha menyelamatkan diri.
Naas, sejumlah pintu di Stadion Kanjuruhan terkunci sehingga para suporter terjebak dan terhimpit. Ratusan nyawa pun melayang akibat terinjak-injak hingga kekurangan oksigen.
Namun, hingga kini kepolisian masih tidak mengakui jika gas air mata yang memicu jatuhnya 131 korban jiwa. Terbaru, Polri bahkan memberikan sejumlah pembelaan jika gas air mata yang digunakan tidak mematikan.
Berikut ini macam-macam pembelaan polisi terkait gas air mata:
Gas air mata yang digunakan sudah kadaluwarsa
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengakui bahwa gas air mata yang digunakan aparat memang sudah kadaluwarsa pada tahun 2021.
Meski demikian, ia memastikan bahwa efek yang ditimbulkan cairan kimia itu berkurang jika sudah kadaluwarsa. Bahkan, Dedi juga menyebut bahwa gas air mata bukan penyebab ratusan suporter Arema FC merenggang nyawa.
Pernyataan Dedi itu berbeda dengan penjelasan ahli yang menjelaskan bahwa gas air mata kadaluarsa justru lebih berbahaya.
Baca Juga: Hasil Laporan TGIPF Tragedi Kanjuruhan Selesai Jumat dan Dilaporkan ke Presiden Jokowi
Melansir dari National Geographic yang membahas penggunaan gas air mata untuk menghalau massa mahasiswa di depan gedung DPR/MPR RI pada 24 September 2019, seorang dosen kimia dari Simon Bolivar University, Monica Krauter memberi penjelasan.