Enaknya Jadi Setnov: Korupsi Rp 2,3 Triliun, Vonis 'Diskon' dan Cuma 7 Tahun di Penjara

Tasmalinda Suara.Com
Senin, 18 Agustus 2025 | 22:49 WIB
Enaknya Jadi Setnov: Korupsi Rp 2,3 Triliun, Vonis 'Diskon' dan Cuma 7 Tahun di Penjara
Terpidana kasus e-KTP Setya Novanto bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, dengan terdakwa mantan Dirut PLN Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/8). [ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari]

Suara.com - Keadilan kembali terasa seperti barang mewah yang tak terjangkau nalar publik.

Kalimat sinis "Enaknya Jadi Setnov" yang dulu hanya candaan di media sosial, kini menjadi kenyataan pahit.

Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan dalang di balik mega korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun, resmi menghirup udara bebas.

Ironisnya, kebebasan ini ia dapatkan tepat di momentum sakral perayaan HUT ke-80 RI.

Pada Sabtu (16/8/2025), Setnov melenggang keluar dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, dengan status bebas bersyarat.

Ia hanya menjalani sekitar 7 tahun 9 bulan dari vonis awal 15 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya.

Kabar ini sontak meledakkan kembali amarah publik yang sempat terpendam, membangkitkan memori akan drama "tiang listrik" dan dagelan hukum yang pernah ia pertontonkan.

Lalu, bagaimana bisa hukuman seberat itu mendapat "diskon" besar-besaran?

Otoritas terkait memberikan penjelasan prosedural.

Baca Juga: Setya Novanto Sudah Bebas, Kapan Paulus Tannos Diekstradisi ke Indonesia?

Kunci utamanya terletak pada putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung pada Juli 2025. Lewat putusan inilah, vonis Setnov dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.

Setnov bebas bersyarat setelah putusan PK memangkas hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Hitungan dua pertiga masa pidana sudah terpenuhi,” ujar Kepala Kanwil Ditjen PAS Jabar, Kusnali.

Untuk memahami mengapa kabar ini memicu amarah, mari kita putar kembali ingatan pada skala kejahatan yang telah ia lakukan.

Proyek e-KTP, yang seharusnya menjadi tonggak modernisasi data kependudukan, ia sulap menjadi ladang bancakan raksasa.

Negara dirugikan Rp 2,3 triliun—angka yang cukup untuk membangun ribuan sekolah atau rumah sakit.

Vonis awal pada 2018 sebenarnya sudah cukup berat yakni 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI