Suara.com - Pukul 19.30 WIT menandakan malam telah tiba, namun aktivitas di Kepulauan Mapia, pulau terluar Indonesia, masih berlanjut. Suara anak-anak bermain masih terdengar, saling memanggil nama anak lainnya agar menangkap bola yang dilempar.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya datang, menyuruh anaknya agar segera pulang.
Anak-anak dan orang tua mondar-mandir di jalan setapak berukuran 1,5 meter. Di beberapa sisi jalan, tampak lampu Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS) berjejer menjadi sumber penerangan. Lampu ini baru dipasang oleh Kementerian Sosial dua minggu lalu.
Ada sembilan unit yang dipasang di Pulau Brasi, pulau yang menjadi pusat pemerintahan di Kepulauan Mapia. Satu unit lagi dipasang di Pulau Pegun.
“Selama ini kan gelap toh. Saya berterima kasih karena sudah ada bantuan dari Kemensos,” kata salah satu warga Kepulauan Mapia, Paulina Aruan (33).
Menurutnya, bantuan penerangan sangat dibutuhkan, dan ia bersuka cita karena saat ini rumahnya tidak lagi gelap di malam hari. Bagaimana tidak, rumahnya sekarang dilengkapi dengan Solar Home System (SHS) dari Kemensos.
“Saya pakai untuk charge hape, kadang malam hari saya pakai untuk penerangan saat masak,” kata Paulina.
SHS adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) independen untuk memenuhi kebutuhan energi listrik baik peralatan rumah tangga seperti lampu, TV, radio, dan alat elektronik lainnya. Kemensos menyalurkan 82 unit SHS bagi setiap rumah dan instansi di Kepulauan Mapia.
Sejak setahun lalu, warga Kepualauan Mapia melewati malam tanpa penerangan dan daya listrik yang memadai, sebab Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang menjadi sumber penerangan utama, rusak.
Baca Juga: Kemensos Nonaktifkan BPJS Kesehatan 24 Ribu Warga Sumbar, Ini Masalahnya
Listrik tenaga surya menjadi satu-satunya pilihan, mengingat Kepulauan Mapia terletak di Samudera Pasifik. Jarak terdekat dengan daratan dalah Kota Manokwari yang terletak 290 km dari Kepulauan Mapia.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik, biasanya mereka datang ke Pos Satgas Pamputer (Satuan Tugas Pengamanan Pulau Terluar) untuk sekedar mengisi daya baterai gawai yang telah habis. Ada juga yang menggunakan genset, jika mampu. Bagi yang tidak, mereka kembali menggunakan pelita, lampu obor berbahan bakar minyak tanah.
Penerangan menjadi semakin sulit ketika persediaan minyak tanah habis. Kapal yang membawa bahan bakar dan kebutuhan lainnya hanya berlabuh dua kali dalam sebulan, dan itu pun jika cuaca memungkinkan. Dalam cuaca buruk, kapal bisa tidak berlabuh selama berbulan-bulan. Oleh karena itu, kehadiran SHS dari Kemensos disambut dengan gembira.
Sama seperti Paulina, warga lainnya, Widiana Lestiarini (56) juga merasakan manfaat dari SHS dari Kemensos. Wanita yang akrab disapa Mama Jawa ini kegirangan karena bisa tidur dengan penerangan. Cucunya pun bisa belajar dengan tenang.
“Kalau yang ini bisa charge HP sama untuk penerangan di rumah. Kita beruntung sekali anak-anak bisa kembali belajar tidak kayak kemarin-kemarin,” ujarnya.
Menurutnya, SHS yang diberikan Kemensos cukup mudah dioperasikan.