Bahkan, akhir tahun yang sama, sekelompok orang mendadak datang melakukan aksi sepihak, menurunkan batu Lingga Padma Buana di rumah Utiek.
Diskriminasi sosial juga dirasakan Utiek hanya lantaran perbedaan keyakinan. Suatu kali, pernah dia ikut berpartisipasi memberikan uang untuk acara di masjid.
Uang yang diberikan adalah iurannya sebagai warga. Namun pemberian Utiek justru dipertentangkan karena keyakinannya.
“Saya sebagai warga tidak membawa-bawa keyakinan, dan yang terpenting saya ikhlas. Enggak masalah bagi saya sekalipun untuk kegiatan di masjid,” katanya mencoba menjelaskan kepada pengurus masjid.
Urusan tempat sampah, Utiek juga dikucilkan. Dia dikecualikan saat warga lain mendapat tempat sampah di rumah masing-masing. Namun, ia tak mau protes, apalagi mencak-mencak. Baginya, sikap seperti itu justru merugikan orang lain.
Diskriminasi terus dirasakan selama bertahun-tahun oleh Utiek maupun penganut Hindu Mangir lainnya, hingga puncaknya 11 November 2019.
Senin hari itu, Utiek dan umat Hindu Mangir menggelar ritual penghormatan kepada leluhur mereka, yakni Ki Ageng Mangir—kharisma dan kiprah sosok ini pernah menjadi subjek sentral naskah drama Mangir karya sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer.
Upacara Odalan atau peringatan Maha Lingga Padma Buana itu tak hanya diikuti umat Hindu Mangir, melainkan jemaah Hindu maupun Buddha lainnya dari banyak daerah.
Namun, saat upacara baru setengah jalan, sekelompok orang datang membubarkan.
Baca Juga: Detik-detik Politikus PDIP 'Seruduk' Acara Rocky Gerung Bareng Mahasiswa: Tidak Beradab!
Subani—salah satu orang yang ikut melakukan pembubaran—mengklaim upacara yang dilaksanakan Utiek tidak berizin.
Dia beralasan, Utiek sebagai ketua penyelenggara upacara hanya memberikan pemberitahuan kepada mereka, tanpa meminta izin.
“Kami sebenarnya tidak mempermasalahkan kegiatan yang dia lakukan. Tapi jangan sampai mengundang banyak orang dari luar kota. Selain itu, mereka tak punya izin,” Subani berkilah.
Utiek bukan tak mengurus izin pendirian sanggar. Semua usaha sudah ia lakukan sejak delapan tahun sebelumnya.
Namun, perizinan itu baru diterbitkan Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat Hindu Kementerian Agama RI justru dua tahun setelah aksi persekusi pembubaran upacara tersebut, yakni 2021. Itu pun memakai perizinan bangunan rumah pribadi.
Menurutnya, perizinan pendirian sanggar pemujaan, seharusnya bisa cepat, tapi terhalang secara prosedural. Halangan tersebut adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006.