- Kenaikan UMR tahunan seringkali tidak signifikan dibandingkan kenaikan biaya hidup dasar, menyebabkan pekerja hanya bertahan hidup.
- Perhitungan UMR saat ini berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) untuk pekerja lajang, bukan kebutuhan rumah tangga.
- Pekerja menyiasati defisit gaji melalui strategi pendapatan ganda atau mencari sumber penghasilan informal tambahan.
Suara.com - Setiap akhir tahun, jutaan buruh di Indonesia menanti pengumuman kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) dengan harapan mendapatkan napas yang sedikit lebih lega.
Harapan tersebut sering kali pupus karena kenaikan upah yang hanya berkisar 3% hingga 5% langsung tersapu oleh lonjakan harga beras, tarif kontrakan, dan efek domino kenaikan BBM.
Ketimpangan ini menciptakan fenomena nyata bahwa bekerja saat ini hanya untuk bertahan hidup, bukan untuk mencapai kesejahteraan.
Ada sebuah miskonsepsi besar di masyarakat yang menganggap bahwa UMR adalah standar upah yang layak untuk menghidupi satu keluarga kecil dengan dua anak.
Realitas sosiologis menunjukkan jutaan kepala keluarga di Indonesia bergantung sepenuhnya pada angka minimalis ini untuk menghidupi istri dan menyekolahkan anak-anak mereka.
Mengapa UMR Hanya untuk Satu Orang?
Pemerintah memandang upah minimum sebagai batas terbawah agar seorang pekerja tidak dieksploitasi dan bisa bertahan hidup secara fisik.
Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2023, upah minimum dihitung berdasarkan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang disurvei berdasarkan kebutuhan satu orang pekerja lajang.
Komponen KHL tersebut mencakup makanan 2.100 kalori per hari, sewa kamar, pakaian, hingga transportasi untuk satu individu saja.
Sebenarnya, sudah ada ketentuan baru mengenai penetapan upah minimum untuk tahun 2026 lewat PP No. 49 Tahun 2025.
Baca Juga: John Herdman Dibayar Rp670 Juta per Bulan, PSSI Dapatkan Kualitas dengan Harga Miring?
Komponen KHL tak lagi dihitung lewat pemenuhan kebutuhan dasar pekerja lajang, namun mulai mempertimbangkan kebutuhan dasar rumah tangga.
Hanya saja, di beberapa daerah, salah satunya seperti Jakarta, penerapan PP baru tetap dianggap belum memenuhi standar upah minimum layak.
Kondisi diperparah dengan banyaknya perusahaan swasta yang “menyamankan diri” di angka upah minimum karena ingin menjaga biaya tenaga kerja tetap rendah agar produk mereka tetap kompetitif.
Padahal, perusahaan sebenarnya wajib menyusun Struktur dan Skala Upah (SUSU) untuk karyawan yang sudah bekerja lebih dari satu tahun.
Matematika Mustahil UMR untuk Keluarga

Di Jakarta, data Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga bulanan saat ini bisa mencapai hampir Rp15 juta.
Bagi pekerja lajang dengan gaya hidup standar, biaya per bulan yang harus ditanggung berada di kisaran Rp4,5 juta hingga Rp6 juta.
Mengacu pada UMR DKI Jakarta tahun 2026 sebesar Rp5.729.876, tentu besaran upah yang didapat hanya cukup untuk kebutuhan satu orang.
Selisih antara pendapatan minimum dan kebutuhan riil keluarga menciptakan defisit kesejahteraan menahun bagi para pekerja.
Kenaikan upah tahunan pada akhirnya terasa seperti berlari di atas treadmill, yakni bergerak cepat dan menguras tenaga, namun tetap berada di titik yang sama.
Strategi Menyulap Gaji Mepet
Rata-rata keluarga pekerja di Indonesia pada akhirnya harus menjalankan strategi double income, di mana suami dan istri sama-sama bekerja untuk menutupi kekurangan biaya.
Arya, salah satu warga Jakarta, menjadi contoh nyata bagaimana sikap realistis kelompok kelas pekerja dalam bertahan hidup.
Hidup mengontrak bersama sang istri di salah satu kawasan penyangga Jakarta, Arya terang-terangan mengaku tidak sanggup jika harus menjadi penanggung nafkah keluarga kecilnya.
“Yang suami istri gajinya sama-sama dua digit saja banyak kok,” tuturnya saat berbincang santai dengan Suara.com, Senin (29/12/2025).
Banyak juga pekerja yang terpaksa terjun ke ekonomi informal, seperti membuka warung kecil atau menjadi ojek online selepas kerja kantor.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah, bahkan menilai Pemprov DKI Jakarta harus turun tangan untuk membantu pinjaman modal bagi kelompok pekerja dengan gaji UMR.
“Sangat memungkinkan itu. Nanti tinggal disepakati dengan buruh, tenornya berapa,” kata dia lewat sambungan telepon.
Pekerja juga bisa melakukan substitusi konsumsi ke sumber yang lebih terjangkau demi menghemat pengeluaran.
Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta sudah menyiapkan insentif, dengan kebutuhan pangan menjadi salah satu yang mendapat subsidi.
“Pangan lebih murah, air dari PAM Jaya juga kami subsidi,” papar Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung.
Trubus pun mendorong perluasan kebijakan dalam hal subsidi, lewat pembebasan biaya sewa hunian di unit-unit yang dikelola langsung oleh Pemprov.
“Nanti bisa sampai waktu tertentu, bebas biaya sewa,” tuturnya.
