Suara.com - Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menjelaskan posisi kasus dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Dalam perkara ini, Kejaksaan Agung menetapkan 7 orang tersangka. 4 diantaranya merupakan para petinggi Pertamina.
Adapun keempat orang petinggi Pertamina tersebut yakni Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk.
Selanjutnya Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping, dan Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Manajemen Kilang Pertamina Internasional.
Sementara 3 orang lainnya berasal dari pihak swasta, yakni Muhammad Kerry Andrianto Riza atau MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa. Kemudian Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim dan Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Qohar menuturkan, perkara ini terjadi sejak 2018 hingga periode 2023. Dalam memunuhi pasokan minyak mentah dalam negeri Pertamina harus mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
“Sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri,” kata Qohar, di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (25/2/2025) malam.
Namun berdasarkan fakta penyidikan yang didapat, kata Qohar, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengondisian dalam Rapat Optimalisasi Hilir atau OH yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.
Baca Juga: Danantara Diminta Tak Sembarangan Berinvestasi, Jangan Cuma Incar Untung Finansial!
“Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor. Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh K3S sengaja ditolak,” jelas Qohar.
Qohar menuturkan, penolakan ini dilkukan dengan berbagai alasan, diantaranya produksi minyak mentah oleh K3S tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan oleh K3S masih masuk range harga HBS.

Kemudian, produksi minyak mentah K3S dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spek. Namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai dengan spek kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
“Jadi kerjasama antara pemerintah dengan pihak K3S kontraktor untuk kerja pelaksanaan ini ada bagian minyak yang sebagian bagian K3S dan sebagian bagian negara atau pertamina,” jelasnya.
Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh K3S ditolak dengan dua alasan tersebut, lanjut Qohar, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor.
Jadi, bagian K3S tadi karena ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan spek, harganya tidak sesuai dengan HBS, maka secara otomatis bagian K3S harus diekspor ke luar negeri.