Suara.com - Menjelang peringatan Hari Perempuan Sedunia pada Sabtu, 8 Maret 2025, suara perempuan dari berbagai latar belakang semakin lantang menyuarakan ketidakadilan sistemik yang terus berlangsung.
Dari ketidakadilan ekonomi bagi buruh perempuan, pelanggaran hak asasi terhadap penyandang disabilitas, hingga diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual dan gender, semua menunjukkan bahwa perjuangan perempuan di Indonesia masih jauh dari kata selesai.
Echa, dari Arus Pelangi, menyoroti bagaimana negara kerap menggunakan kelompok tertentu sebagai alat pengalihan isu dengan cara kriminalisasi.
“Siapa musuh kita? Negara. Negara adalah akar penindasan,” tegasnya dalam diskusi publik Aliansi Perempuan Indonesia, Rabu (5/3/2025).
Menurutnya, budaya patriarki yang mengakar di Indonesia telah menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual dan gender, seperti transpuan.
Bahkan, ia menyebut bahwa ada bentuk genosida terhadap transpuan yang tidak diakui oleh negara.
Alih-alih melindungi hak-hak warganya, negara justru membiarkan tindakan diskriminatif terhadap komunitas gender dan seksual minoritas.
“Kami bukan ancaman. Banyak sekali kawan-kawan dengan orientasi seksualnya dipecat dari pekerjaan, kami bukan penyakit. Jika pejabat gampang memakai kami sebagai framing isu, jangan pernah tunduk dari rasa takut, lawan tirani,” ujarnya.
Sementara itu, Ajeng dari Perempuan Mahardhika menyoroti meningkatnya pemiskinan sistemik yang terjadi di Indonesia. Gelombang PHK massal menjadi ancaman nyata bagi perempuan pekerja.
Baca Juga: Cerita Pilu Driver Ojol Wanita di Sukabumi: Diskriminasi, Pelecehan, Kerja Tanpa Cuti Melahirkan
“Situasi dimiskinkan itu sangat masif terjadi di mana-mana,” katanya.