Dia merasa RUU Perampasan Aset menjadi instrumen hukum yang kuat dan mendapatkan legitimasi serta dukungan dari masyarakat, memperkuat upaya pemberantasan korupsi, dan mewujudkan sistem hukum yang lebih adil di Indonesia.
Pasalnya, kata dia, RUU tersebut sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk menutup celah kejahatan ekonomi lantaran menggunakan pendekatan non-conviction based asset forfeiture atau aset bisa dirampas meski belum ada putusan pidana, selama bisa dibuktikan bahwa itu hasil kejahatan.
"Apalagi dalam kasus yang sulit dituntaskan secara pidana, karena pelaku menyembunyikan atau mengalihkan aset dengan cerdik. Ini penting agar negara tidak selalu kalah cepat dari koruptor yang sudah menyiapkan pelarian sejak awal,” ungkapnya.
Dia menegaskan bahwa keberanian negara dalam menindak korupsi akan menjadi cermin keberanian bangsa ini menatap masa depan.
Namun demikian, Hardjuno tetap menekankan bahwa RUU itu bukan berarti bebas risiko, sehingga tetap diperlukan kehati-hatian, pengawasan ketat, dan mekanisme hukum yang adil dalam pelaksanaannya.
“Kita tidak boleh gegabah. Tapi jangan pula takut mengambil langkah hanya karena ada risiko,” ujar Hardjuno.
Adapun RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. Namun, RUU itu tak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Sturman Panjaitan menginginkan RUU tentang Perampasan Aset masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2026.
Untuk mencapai hal itu, kata Sturman di Jakarta, Rabu (4/12/2024), RUU yang masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2025 harus selesai dibahas di DPR.
Baca Juga: Bicara Miskinkan Koruptor Lewat Perampasan Aset, Prabowo: Apakah Adil Anak-Istrinya Menderita Juga?
RUU yang masuk prioritas pada tahun 2025 terfapat sebanyak 41 RUU, yang diusulkan oleh 13 komisi di DPR, Baleg, pemerintah, hingga Dewan Perwakilan Daerah (DPD).