Akun lain, @dwi****, menambahkan, "Disini petani udah kayak mati-matian, pupuk langka dan mahal, sok-sokan bantu negara lain, kemarin ada ibu sedang sakit aja rela datang beli pupuk karena gak bisa diwakilkan."
Keresahan semacam ini mencerminkan kegelisahan publik atas prioritas pembangunan pemerintah yang dinilai tidak selaras dengan realitas domestik.
Di tengah tekanan ekonomi dan penghematan anggaran, publik menilai bahwa seharusnya dana sebesar itu dialokasikan terlebih dahulu untuk membenahi sektor pertanian nasional.
Kondisi Pertanian Nasional: Masih Jauh dari Ideal
Sektor pertanian Indonesia selama beberapa tahun terakhir dihadapkan pada berbagai persoalan struktural.
Distribusi pupuk bersubsidi yang tidak merata, keterbatasan infrastruktur irigasi, hingga rendahnya kualitas pelatihan dan penyuluhan menjadi hambatan besar dalam peningkatan produksi dan kesejahteraan petani.
Data dari Kementerian Pertanian dan BPS mencatat, sebagian wilayah sentra pertanian mengalami penurunan produktivitas.
Bahkan, pemerintah masih harus melakukan impor beras guna menjaga cadangan nasional, sebuah ironi bagi negara agraris yang seharusnya menjadi lumbung pangan sendiri.
Dengan dana lebih dari Rp 100 miliar, sesungguhnya pemerintah dapat membangun dan merehabilitasi ribuan hektar lahan pertanian, memperkuat program pelatihan petani di dalam negeri, serta mengembangkan teknologi pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Diutus Prabowo Melayat Paus: Jokowi, Thomas, Pigai, hingga Ignasius Jonan Terbang ke Vatikan
Hibah luar negeri bukanlah tindakan yang keliru dalam konteks hubungan diplomatik. Bantuan kepada negara sahabat sering kali dilakukan untuk memperkuat pengaruh, solidaritas kawasan, atau stabilitas geopolitik.