Suara.com - Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan hibah senilai 6 juta dolar AS atau sekitar Rp 101,2 miliar (kurs Rp 16.870) kepada Pemerintah Fiji menuai reaksi beragam dari masyarakat.
Komitmen tersebut diumumkan dalam pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Fiji Sitiveni Rabuka di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 24/4/2025).
Dalam pernyataannya, Rabuka menyampaikan apresiasi mendalam atas bantuan Indonesia yang dinilai sangat berarti bagi negaranya. Ia menekankan bahwa hibah ini membebaskan Fiji dari beban utang.
"Kami sangat menghargai hibah Anda sebesar 12 juta dollar Fiji, yang setara dengan sekitar 6 juta dollar AS, yang merupakan hibah yang besar bagi Fiji, khususnya sebagai hibah," kata Rabuka.
Tak hanya itu, Rabuka juga menyambut baik langkah Indonesia yang melakukan penyelesaian pembangunan pusat pelatihan pertanian yang akan dikembangkan sebagai pusat pelatihan regional di daerah Rakiraki.
Namun, di dalam negeri, reaksi publik justru menunjukkan ketidakpuasan. Warganet mempertanyakan keputusan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran besar untuk negara lain, sementara sektor pertanian nasional masih menghadapi tantangan yang mendesak dan belum terselesaikan.
Respons Publik: Solidaritas Luar Negeri atau Abaikan Petani Sendiri?
Kritik dari masyarakat mengemuka di platform media sosial, khususnya X (dulu Twitter), yang dipenuhi keluhan serta sindiran tajam terhadap kebijakan tersebut.
Banyak yang membandingkan kondisi petani Indonesia yang tengah berjuang dengan keterbatasan pupuk, akses pasar, serta harga kebutuhan produksi yang kian tinggi.
Baca Juga: Diutus Prabowo Melayat Paus: Jokowi, Thomas, Pigai, hingga Ignasius Jonan Terbang ke Vatikan
"Rakyat diminta untuk berhemat, bahkan yang doyan pedes aja diminta kurangi beli cabe karena mahal. Sementara uang pajak kita dihibahkan untuk negara lain. Kalian ikhlas? Gue sih kagak..." tulis akun @ari****.
Akun lain, @dwi****, menambahkan, "Disini petani udah kayak mati-matian, pupuk langka dan mahal, sok-sokan bantu negara lain, kemarin ada ibu sedang sakit aja rela datang beli pupuk karena gak bisa diwakilkan."
Keresahan semacam ini mencerminkan kegelisahan publik atas prioritas pembangunan pemerintah yang dinilai tidak selaras dengan realitas domestik.
Di tengah tekanan ekonomi dan penghematan anggaran, publik menilai bahwa seharusnya dana sebesar itu dialokasikan terlebih dahulu untuk membenahi sektor pertanian nasional.
Kondisi Pertanian Nasional: Masih Jauh dari Ideal
Sektor pertanian Indonesia selama beberapa tahun terakhir dihadapkan pada berbagai persoalan struktural.
Distribusi pupuk bersubsidi yang tidak merata, keterbatasan infrastruktur irigasi, hingga rendahnya kualitas pelatihan dan penyuluhan menjadi hambatan besar dalam peningkatan produksi dan kesejahteraan petani.
Data dari Kementerian Pertanian dan BPS mencatat, sebagian wilayah sentra pertanian mengalami penurunan produktivitas.
Bahkan, pemerintah masih harus melakukan impor beras guna menjaga cadangan nasional, sebuah ironi bagi negara agraris yang seharusnya menjadi lumbung pangan sendiri.
Dengan dana lebih dari Rp 100 miliar, sesungguhnya pemerintah dapat membangun dan merehabilitasi ribuan hektar lahan pertanian, memperkuat program pelatihan petani di dalam negeri, serta mengembangkan teknologi pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Hibah luar negeri bukanlah tindakan yang keliru dalam konteks hubungan diplomatik. Bantuan kepada negara sahabat sering kali dilakukan untuk memperkuat pengaruh, solidaritas kawasan, atau stabilitas geopolitik.
Namun demikian, di tengah kondisi domestik yang menuntut efisiensi anggaran dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, kebijakan tersebut perlu dikaji secara cermat dan proporsional.
Masyarakat menuntut pemerintah agar lebih transparan dalam menyampaikan alasan dan dampak strategis dari hibah tersebut terhadap kepentingan nasional.
Terlebih, ketika rakyat dihadapkan pada kenaikan harga pangan, kelangkaan pupuk, dan tekanan ekonomi harian, keputusan seperti ini berisiko menimbulkan ketidakpercayaan publik.