Suara.com - Seorang narapidana kasus korupsi yang kini mendekam di Lapas Kelas I A Makassar berhasil memenangkan gugatan perdata melawan aktor senior, Atalarik Syach.
Dede Tasno namanya. Terpidana dua kasus korupsi.
Namun, walau sedang dipenjara, ia tercatat memenangkan perkara sengketa tanah di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat.
Putusan ini mengundang tanda tanya publik. Bagaimana seorang narapidana yang sudah bertahun-tahun di balik jeruji besi bisa memenangkan perkara melawan publik figur ternama?
Kepala Lapas Kelas IA Makassar, Sutarno yang dikonfirmasi membenarkan bahwa Dede saat ini masih menjadi warga binaan mereka.
"Iya, betul. Yang bersangkutan (Dede Tasno) napi di Lapas Makassar," ucapnya, Minggu, 18 Mei 2025.
Kata Sutarno, Dede Tasno tercatat jadi narapidana di Lapas Makassar sejak tahun 2013 karena kasus tindak pidana korupsi.
Namun, ia mengaku tak tahu soal gugatan perdata yang melibatkan napi tersebut dengan sang aktor tanah air.
"Sudah sejak tahun 2013, kasus Tipikor," sebutnya.
Baca Juga: Apa Pekerjaan Attila Syach Sekarang? Bayar Tanah Sengketa Atalarik Syach Rp850 Juta
Pada laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara atau SIPP Pengadilan Negeri Makassar.
Dede pertama kali dipenjara akibat keterlibatannya dalam kasus dugaan kredit fiktif bank cabang Parepare sebesar Rp46,7 miliar.
Vonis itu dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Makassar pada tahun 2011. Dede dihukum pidana penjara 13 tahun karena merugikan negara sekitar Rp44 miliar.
Belum tuntas menjalani masa hukumannya, Dede kembali dijerat kasus korupsi pada 2015 terkait pemberian kredit usaha rakyat (KUR) dan kredit modal kerja (KMK) Bank di Cabang Bulukumba.
Ia kembali dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Total kerugian negara akibat tindakannya ditaksir mencapai Rp54,7 miliar.
Walau berada di balik jeruji, Dede justru aktif mengurus perkara perdata yang telah berlarut sejak tahun 2015.
Dede terlibat gugat menggugat dengan Atalarik Syach atas kepemilikan tanah di kawasan Cibinong.
Menurut keterangan pihak Atalarik, aktor tersebut telah membeli tanah seluas 7.000 meter persegi sejak tahun 2000.
Namun, Dede Tasno mengklaim memiliki hak atas sebagian tanah yang sama, dan gugatan yang ia ajukan ternyata dikabulkan pengadilan.
Berdasarkan perhitungan ulang, luas tanah yang disengketakan kini tercatat 5.840 meter persegi.
Atalarik mengaku heran atas kekalahannya di pengadilan. Apalagi Dede adalah seorang napi, tetapi bisa melakukan proses gugatan di pengadilan.
Kata Atalarik, ia membeli lahan itu tahun 2000. Sementara, Dede katanya baru beli tahun 2003.
"Lebih aneh lagi, bagaimana mungkin seorang narapidana yang masih mendekam di penjara bisa ajukan gugatan dan menang?" ungkapnya.
Kebingungan Atalarik juga diperkuat pernyataan kuasa hukumnya, yang menyoroti posisi Dede sebagai napi aktif di Lapas Makassar.
"Dia itu sekarang di tahanan Bulukumba Makassar, bagaimana bisa prosesnya berjalan lancar?. Saya mempertanyakan sistem, untuk warga negara Indonesia, orang yang berada di dalam bisa memberikan kuasa," sebutnya.
Namun kuasa hukum Dede, Eka Bagus Setyawan menegaskan, status hukum kliennya tidak menggugurkan hak perdatanya.
"Legal standing sudah jelas. Dalam perkara ini, status beliau sebagai narapidana tidak serta merta menghilangkan hak sipilnya untuk menggugat," ujarnya.
Eka menambahkan pihaknya telah melalui seluruh prosedur hukum yang sah. Termasuk pengesahan dokumen dan keabsahan transaksi.
"Sudah ada putusan pengadilan. Tidak relevan lagi mempertanyakan siapa dia, karena yang diuji adalah bukti dan fakta hukum," katanya.
Sengketa ini pun belum berakhir. Proses eksekusi diperkirakan akan menjadi babak berikutnya yang juga tak kalah pelik.
Eksekusi untuk sementara tidak terjadi setelah Atalarik dan Dede Tasno mendapatkan kesepakatan melalui negosiasi.
Kasus ini menjadi sorotan publik. Tidak hanya karena melibatkan publik figur dan narapidana.
Akan tetapi juga karena memperlihatkan celah yang memungkinkan seorang napi tetap aktif secara hukum dalam perkara perdata walau pun berada di provinsi yang berbeda.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing