Suara.com - Indonesia dan Prancis kembali mempererat hubungan strategis mereka. Kali ini, fokusnya adalah hutan.
Pada Rabu (28/5), di Istana Merdeka, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri untuk Francophonie dan Kemitraan Internasional Prancis, Thani Mohamed Solihi, menandatangani Deklarasi Pernyataan Niat Kerja Sama di Bidang Pengelolaan Hutan Secara Lestari.
Langkah ini bukan hanya simbolis. Deklarasi tersebut merupakan komitmen nyata kedua negara dalam menghadapi tantangan global krisis iklim, degradasi hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Demikian seperti dikutip dari ANTARA.
Penandatanganan dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Momen ini menjadi salah satu agenda penting dalam kunjungan kenegaraan Presiden Macron ke Indonesia.

“Deklarasi ini sebagai wujud komitmen kedua negara dalam memperkuat kerja sama di bidang kehutanan, pengelolaan lingkungan berkelanjutan, dan perubahan iklim,” jelas Krisdianto, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Kehutanan.
Deklarasi ini menindaklanjuti komitmen strategis bilateral hingga tahun 2050. Isinya menekankan perlunya konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang adil dan berkelanjutan. Tujuan utamanya: menghentikan deforestasi dan degradasi hutan pada 2030.
Beberapa bentuk kerja sama yang disepakati meliputi: pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi kawasan hutan kritis, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pengembangan taman nasional dan sister park antara kedua negara.
Selain itu, deklarasi juga membuka ruang bagi penguatan perhutanan sosial dan promosi perdagangan produk kayu legal. Ini penting, bukan hanya untuk konservasi, tetapi juga untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan.
Kerja sama akan diwujudkan melalui berbagai cara. Termasuk pertukaran informasi, pelaksanaan proyek bersama, keterlibatan antar badan usaha, hingga dialog berkelanjutan antar lembaga.
Baca Juga: Film Selepas Tahlil Lebih dari Sekadar Horor, Ada Drama Keluarga yang Bikin Nangis
Menariknya, kerja sama ini tak akan berhenti di atas kertas. Keduanya sepakat menyusun perjanjian kerja sama lanjutan yang lebih teknis. Dokumen tersebut akan merinci kegiatan, mekanisme pelaksanaan, dan pelibatan multi-pihak dalam kerja sama.
Deklarasi ini sekaligus menjadi momentum untuk menghidupkan kembali kerja sama kehutanan antara Indonesia dan Prancis yang sempat terhenti.
Di masa depan, pengembangan kerja sama ini akan melibatkan berbagai pihak. Dari pemerintah pusat hingga daerah, dari akademisi hingga pelaku usaha, dari LSM hingga masyarakat adat.
Karena melindungi hutan, sejatinya adalah kerja kolektif. Dan kerja sama lintas negara ini adalah salah satu bentuk harapan yang tumbuh: bahwa dunia masih bisa bersatu untuk bumi yang lebih lestari.
Kondisi Hutan di Indonesia
Selama lima tahun, dari 2017 hingga 2021, Indonesia kehilangan hutan alam rata-rata seluas 2,54 juta hektare per tahun. Setara enam kali luas lapangan sepak bola… setiap menit. Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah tanda bahaya.
Hutan kita dalam keadaan krisis. Deforestasi masif terjadi hampir di seluruh wilayah. Kalimantan mencatat angka tertinggi: 1,11 juta hektare per tahun. Papua menyusul dengan 556 ribu hektare. Di belakangnya ada Sumatera (428 ribu), Sulawesi (290 ribu), Maluku (89 ribu), Bali-Nusa (38 ribu), dan Jawa (22 ribu hektare).
Kemajuan teknologi penginderaan jauh memang membuka mata kita akan skala kerusakan. Tapi bukan teknologi yang harus bertanggung jawab. Ini akibat dari tata kelola hutan yang tidak selaras dengan kondisi geografis dan sosial Indonesia sebagai negara kepulauan.
Padahal, hutan bukan hanya deretan pohon. Ia adalah penyimpan air, penjaga iklim, sumber pangan, tempat hidupnya biodiversitas, warisan budaya, dan bahkan—sumber pengetahuan.
Sayangnya, dalam praktik kebijakan, hutan sering diperlakukan seolah-olah ia berada di daratan luas seperti benua. Ini keliru. Indonesia adalah negara kepulauan. Lebih dari 17.000 pulau, dan sekitar 98 persen di antaranya adalah pulau kecil.
Dan pulau-pulau kecil kini dalam ancaman.
Pulau-Pulau Kecil di Ambang Bahaya
Perubahan iklim bukan isu masa depan. Itu adalah fakta hari ini. Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah (WMO). Permukaan laut naik dua kali lebih cepat dibanding satu dekade sebelumnya. Pulau-pulau kecil adalah garis depan dari dampaknya.
Sayangnya, pendekatan pengelolaan pulau kecil masih eksploitatif. Data FWI menyebutkan, dari total luas daratan pulau kecil di Indonesia, sekitar 874 ribu hektare atau 13% telah dibebani izin industri ekstraktif. Ada penebangan hutan (310 ribu ha), tambang (245 ribu ha), hutan tanaman (94 ribu ha), perkebunan (194 ribu ha), dan tumpang tindih izin lainnya (30 ribu ha).
Hasilnya? Antara 2017–2021, rata-rata 79 ribu hektare hutan hilang setiap tahun dari pulau-pulau kecil. Itu 3 persen dari angka nasional, tapi dampaknya jauh lebih besar bagi masyarakat lokal yang sangat bergantung pada ekosistem seimbang.
Masalah Struktural, Solusi Harus Terpadu
Studi FWI mengungkap beberapa masalah utama: tidak jelasnya definisi operasional pulau kecil, pengelolaan sektoral antar-kementerian yang tidak sinkron, serta minimnya data dan informasi. Tanpa pembenahan ini, upaya pelestarian hanya akan jadi wacana.
Yang dibutuhkan adalah pendekatan berbasis wilayah, bukan sekadar administratif. Desentralisasi kebijakan kehutanan perlu diiringi dengan penguatan kapasitas pemerintah daerah, partisipasi aktif masyarakat, dan pengawasan berbasis data.