suara hijau

Menjaga Laut untuk Menjaga Kehidupan: Seruan Perlindungan Ekosistem Laut Dunia

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Selasa, 17 Juni 2025 | 12:53 WIB
Menjaga Laut untuk Menjaga Kehidupan: Seruan Perlindungan Ekosistem Laut Dunia
Ilustrasi laut. (Pixabay/dimitrisvetsikas1969)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lautan menutupi lebih dari 70 persen permukaan Bumi, namun hingga kini hanya sebagian kecil yang benar-benar dilindungi. Padahal, laut bukan hanya rumah bagi jutaan spesies, tetapi juga penyangga utama kehidupan manusia.

Inilah yang membuat suara Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), Inger Andersen, bergema kuat di Konferensi Laut PBB 2025. Dalam pidatonya, Andersen menyerukan dukungan global untuk Rencana Aksi Laut 30x30—inisiatif yang menargetkan 30 persen wilayah laut dunia ditetapkan sebagai kawasan lindung pada tahun 2030.

“Ini bukan sekadar soal angka. Kita bicara soal kehidupan di bawah air, komunitas pesisir, dan masa depan planet ini,” ujar Andersen, melansir situs resmi PBB, Selasa (17/6/2025).

Ia menyoroti bahwa saat ini hanya 8,4 persen kawasan laut dan pesisir yang masuk wilayah lindung. Sementara itu, perlindungan yang bersifat ketat seperti zona “no take” (tanpa pengambilan hasil laut) hanya mencakup 2,7 persen.

Target 30 persen dalam lima tahun bukan pekerjaan ringan. Untuk mencapainya, dunia harus menetapkan kawasan lindung laut yang lebih luas dari Samudra Hindia—sebuah tantangan kolosal. Namun Andersen menegaskan, “Kita sudah bergerak ke arah yang benar. Kini saatnya mempercepat.”

Ekosistem Laut Tertekan, Sumber Daya Terkuras

Kondisi laut saat ini mengkhawatirkan. Penangkapan ikan berlebihan, penambangan laut dalam, pencemaran plastik, dan perubahan iklim memperburuk kesehatan ekosistem laut. Studi Science Advances (2023) bahkan mencatat bahwa 90 persen populasi ikan besar seperti tuna dan hiu sudah menurun drastis sejak 1950.

Di sisi lain, laju konservasi laut masih tertinggal dibanding daratan. Meskipun 31 negara telah menetapkan lebih dari 30 persen wilayah laut mereka sebagai kawasan lindung, sebagian besar lainnya masih tertinggal. Terlebih lagi, kawasan yang dilindungi belum tentu dikelola dengan baik.

“Kita butuh kualitas, bukan hanya kuantitas. Tanpa pengelolaan efektif dan tata kelola inklusif, perlindungan hanya akan jadi simbolik,” kata Andersen. Ia juga menekankan pentingnya melibatkan komunitas lokal dan masyarakat adat, yang selama ini menjadi penjaga alam paling setia.

Baca Juga: Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?

Dana Masih Minim, Tapi Harapan Ada

Fakta lain yang mencemaskan adalah rendahnya pendanaan konservasi laut. Dari seluruh investasi global dalam solusi berbasis alam (nature-based solutions), hanya 9 persen mengalir ke sektor laut. Bahkan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 14 tentang laut adalah yang paling sedikit didanai.

Untuk itu, UNEP menyerukan agar pendanaan ditingkatkan tiga kali lipat sebelum 2030. Andersen juga menyinggung perlunya mengevaluasi ulang eksploitasi industri laut yang sangat disubsidi, yang justru merusak keberlanjutan laut jangka panjang.

“Sudah saatnya kita berhenti mensubsidi kehancuran,” tegasnya.

Menuju Laut yang Dikelola Berkelanjutan

Andersen juga menyampaikan urgensi ratifikasi Perjanjian BBNJ (Biodiversity Beyond National Jurisdiction) yang akan mengatur konservasi laut di luar yurisdiksi negara. Saat ini, hanya 1,7 persen dari wilayah laut internasional yang mendapat perlindungan resmi.

UNEP, menurutnya, siap menjadi rumah bagi Sekretariat Perjanjian ini dan menjembatani berbagai kesepakatan multilateral yang menyentuh isu kelautan. Tujuan akhirnya adalah 100 persen pengelolaan laut yang berkelanjutan.

Pesan utama dari Konferensi ini jelas, kita tidak bisa terus menunda wacana penyelamatan laut. Rencana 30x30 bukan ambisi kosong, melainkan kebutuhan mendesak jika ingin laut tetap hidup dan menopang generasi mendatang.

“Laut bukan tempat kosong yang bisa kita eksploitasi tanpa batas. Laut adalah paru-paru kedua Bumi, dan waktunya hampir habis,” tutup Andersen.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI