Suara.com - Pulau Madura, bagian dari Jawa Timur, selama ini dikenal dengan identitas budaya khas seperti karapan sapi, sate Madura, serta tukang cukur yang banyak merantau ke berbagai daerah.
Namun, di balik kebanggaan itu, ada pula stereotip negatif yang terus melekat: orang Madura kerap diasosiasikan dengan dunia besi tua, bahkan dituding gemar mencuri besi. Mengapa citra semacam ini bisa muncul dan mengakar?
Pertanyaan itu penting untuk dijawab, karena dampaknya tidak sekadar pada citra, tapi juga akses terhadap kehidupan yang setara bagi masyarakat Madura.
Melalui cerita individu, catatan sejarah, hingga struktur ekonomi wilayah, kita bisa menelusuri bagaimana dan mengapa stereotip tersebut terbentuk.
Dilansir dari BBC Indonesia, Muhammad Sholehuddin, warga Pamekasan berusia kepala lima, telah lebih dari dua dekade menggantungkan hidupnya dari mencari dan menjual besi tua.
Ia mengaku mulai bergelut di dunia rongsokan sejak 1998. Dengan mengenakan singlet dan topi merah, ia memilah satu per satu tumpukan logam tua di bawah terik matahari.
Hasilnya tak selalu pasti. Kadang ia mendapatkan 50 kilogram besi dalam sehari, kadang hanya 10 kilogram. Pendapatan yang ia peroleh pun fluktuatif, apalagi ketika harga besi turun dari Rp6.000 menjadi Rp4.000 per kilogram.
Meski penghasilan kecil dan cuaca tidak bersahabat, Sholehuddin tetap menjalani pekerjaannya dengan tekun. Ia menolak keras tuduhan bahwa pekerja seperti dirinya adalah pencuri.
“Saya tidak mau cari besi curian. Kami bekerja lurus,” tegasnya.
Baca Juga: Persija Boyong 4 Pemain Asing dari Negara Elite Sepak Bola, Siapa Saja?
Sayangnya, opini publik seringkali berbeda. Narasi yang menghubungkan orang Madura dengan pencurian besi berulang kali muncul, baik di media konvensional maupun media sosial.
![Aksi pencurian rel kereta api makin ganas [ANTARA]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/04/03/16708-aksi-pencurian-rel-kereta-api-makin-ganas-antara.jpg)
Beberapa kasus menambah panjang daftar tuduhan, seperti pencurian besi di Jembatan Suramadu (2009), toko bangunan di Sumenep (2017), hingga pondok pesantren di Sampang (2022).
Di tahun 2025, warga Madura kembali menjadi sorotan setelah tertangkap membawa ratusan besi dari lokasi pembangunan vila di Bali.
Meski benar bahwa pelakunya berasal dari Madura, publik seolah langsung menarik kesimpulan bahwa pencurian besi adalah karakteristik etnis, bukan perbuatan individu.
Padahal, pelaku pencurian besi tidak hanya berasal dari Madura. Di Bandung Barat, polisi menangkap tiga warga lokal yang mencuri rel cadangan milik PT KAI.
Di Bojonegoro, warga setempat mencuri besi penahan tanah rel kereta. Namun, kasus-kasus ini tak lantas melahirkan stereotip serupa bagi etnis pelakunya.