Membongkar Stereotip Besi Tua: Mengapa Sering Dikaitkan dengan Orang Madura?

Kamis, 03 Juli 2025 | 09:14 WIB
Membongkar Stereotip Besi Tua: Mengapa Sering Dikaitkan dengan Orang Madura?
Ilustrasi rongsokan besi tua. [Freepik]

Menurut Bernando J. Sujibto, pengajar sosiologi di UIN Sunan Kalijaga, masyarakat perlu mampu membedakan mana tindakan personal dan mana yang bisa dijadikan identitas etnis. Sayangnya, masyarakat kita justru kerap menyimpulkan kasus individual sebagai gambaran kolektif.

“Jika satu orang Madura mencuri besi, maka yang dicap adalah orang Madura secara keseluruhan. Ini keliru dan berbahaya,” ujarnya.

Bernando juga menyoroti peran media sosial dalam memperkuat stereotip ini. Konten-konten yang menyinggung orang Madura dan besi, meski dibungkus humor dan satire, mengumpulkan ratusan ribu views. Bahkan seorang komedian asal Madura turut membuat konten tentang itu.

Sayangnya, apa yang awalnya niatnya bercanda, justru memperkuat pandangan publik yang salah.

Lalu, mengapa banyak warga Madura menekuni pekerjaan sebagai pengepul atau pedagang besi tua?

Ilustrasi Rumah Rongsokan. (Pixabay.com)
Ilustrasi Rumah Rongsokan. (Pixabay.com)

Jawabannya berkaitan erat dengan struktur geografi dan ekonomi Madura. Dalam buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 karya Kuntowijoyo, tanah Madura didominasi batuan kapur dan miskin unsur vulkanis yang membuat pertanian tidak produktif. Cuaca pun ekstrem, dengan musim kemarau panjang dan curah hujan rendah.

Ketidaksuburan lahan menyebabkan banyak warga Madura beralih ke sektor informal dan perantauan. Mereka mencari nafkah sebagai tukang cukur, pedagang sate, penjual keliling, hingga pengumpul besi tua. Berdagang rongsokan menjadi solusi logis dalam keterbatasan pilihan kerja.

Mohammad Fakkar, salah satu pengepul besi tua di Pamekasan, menuturkan bahwa ia memilih bisnis besi karena mudah didapat dan cepat dijual. Besi tua bisa diperoleh dari rumah warga, bengkel, atau proyek konstruksi yang sudah usang.

“Kami bawa saja motor rusak atau potongan besi dari gudang. Bagi pemiliknya, itu barang tak berguna. Tapi bagi kami, bisa jadi penghidupan,” ujarnya.

Stereotip besi dan Madura, jika terus dibiarkan, bisa berdampak sistemik. Bernando mengingatkan bahwa prasangka bisa berkembang menjadi diskriminasi sosial dan politik.

Baca Juga: Persija Boyong 4 Pemain Asing dari Negara Elite Sepak Bola, Siapa Saja?

Komunitas tertentu berpotensi tidak mendapatkan pelayanan adil, akses pekerjaan, atau bahkan perlakuan hukum yang setara.

Hingga kini, belum tampak indikasi nyata eksklusi terhadap warga Madura akibat label ini. Namun risiko itu tetap terbuka.

“Stigma berdasarkan identitas kelompok adalah preseden buruk bagi masyarakat multikultural seperti Indonesia,” kata Bernando.

Bernando juga mengkritik minimnya peran pemerintah dalam meredam stereotip. Kurangnya ruang pertemuan lintas etnis, baik dalam pendidikan maupun ruang publik, membuat masyarakat mudah saling curiga dan sulit membangun empati.

Pada akhirnya, besi tua bukan sekadar soal logam bekas, tapi simbol dari perjuangan hidup dalam ketimpangan. Masyarakat Madura tidak sedang mencuri, tapi berusaha bertahan dalam keadaan yang sulit.

Dalam budaya Madura dikenal pepatah abantal omba’, asapo’ angin, berbantal ombak, berselimut angin, yang bermakna, kerja keras adalah kehormatan. Maka, sudah saatnya publik melepaskan stereotip usang, dan mulai memandang besi tua sebagai jalan hidup, bukan kejahatan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI