Puncaknya adalah ketika ia meraih gelar Doktor dari program studi Kajian Budaya dan Media di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2013 dengan predikat cum laude.
Sebuah pencapaian langka bagi seorang perwira polisi aktif, yang menandakan kegelisahannya terhadap fenomena sosial dan media yang sedang berubah drastis.
Kombinasi antara pengalaman lapangan dan ketajaman akademis inilah yang menjadi kekuatannya.
Kegelisahannya terhadap ancaman di ruang siber ia tuangkan dalam serangkaian penelitian dan buku yang relevan dengan kondisi kekinian.
Jauh sebelum istilah post-truth menjadi perbincangan umum, Barito telah menulis karya-karya penting seperti:
- Cyber-hoaxes dan Implikasinya bagi Stabilitas Keamanan Nasional (2018)
- Kebohongan di Dunia Maya (2018)
- Demokrasi di Era Post Truth (2021)
- Medsos di Antara Dua Kutub (2021)
Buku-buku ini bukan sekadar tulisan, melainkan analisis strategis tentang bagaimana berita bohong dan perang narasi di media sosial dapat mengancam stabilitas negara dan memicu potensi disintegrasi bangsa. Ia membedah anatomi hoax, dari isu ideologi Pancasila hingga berita palsu seputar vaksin Covid-19, menunjukkan betapa berbahayanya ancaman tak terlihat ini.
Dari ruang-ruang diskusi di UGM, jalanan sebagai Kapolsek, hingga koridor senyap Badan Intelijen Negara, perjalanan karier Irjen Barito adalah cerminan dari tantangan zaman.
Ia adalah sosok jenderal yang tidak hanya memegang senjata, tetapi juga pena dan gagasan untuk melawan musuh terbesar demokrasi modern: kebohongan.
Baca Juga: Mau Jadi Perwira Polisi? Cek Besaran Gaji dan Tunjangan Lulusan Akpol di Sini!