Suara.com - Wacana pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar riak-riak politik biasa.
Ini adalah pertarungan antara logika mitigasi bencana kepemimpinan di mata publik dan dinding kokoh kepentingan ekonomi para elite politik.
Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura, mengungkap analisis tajam ini dalam podcast Forum Keadilan TV.
Prof. Sulfikar menyoroti mengapa tuntutan pemakzulan yang dianggap rasional oleh masyarakat sipil justru tenggelam di Senayan.
Menurutnya, desakan untuk melengserkan Gibran adalah bentuk mitigasi terhadap potensi kekisruhan kepemimpinan di masa depan.
Ini adalah respons alamiah dari warga negara yang diliputi kekhawatiran.
"Tindakan kelompok masyarakat yang melihat potensi bencana di masa depan dan mencoba mengambil tindakan mitigasi (seperti tuntutan pemakzulan) adalah tindakan logis," tegas Prof. Sulfikar.
Tembok Kepentingan: Tambang dan Sawit Menjadi Hambatan
Lalu, mengapa para wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan aspirasi publik justru memilih diam?
Baca Juga: Saran Menohok Rocky Gerung untuk Gibran: Urus 'Brain Care' di Papua, Bukan Cuma Skincare!
Prof. Sulfikar blak-blakan menunjuk "relasi kuasa" dan kepentingan bisnis raksasa sebagai penyebab utama.
"Respon wakil rakyat yang berbeda-beda terkait isu pemakzulan terkait dengan relasi kuasa dan kepentingan ekonomi (tambang, sawit, dll.) yang mereka pegang," ujarnya.
Analisis ini menunjukkan bahwa hitungan untung-rugi material, seperti konsesi tambang atau perkebunan kelapa sawit, jauh lebih mendominasi pemikiran politisi ketimbang potensi risiko jangka panjang bagi negara.
"Kemampuan seseorang berpikir tentang masa depan sangat tergantung pada kepentingan material yang ada di depannya," tambahnya.
Hal ini mengisyaratkan bahwa idealisme politik seringkali kalah oleh pragmatisme ekonomi pribadi atau kelompok.
Krisis Ekonomi: Pemicu 'Bom Waktu' Pemakzulan
Meskipun saat ini terganjal kepentingan elite, Prof. Sulfikar percaya bahwa isu pemakzulan ini berpotensi menjadi gerakan masif. Namun, ada satu pemicu utama: krisis ekonomi yang langsung memukul rakyat.
Selama ekonomi stabil, gerakan ini akan sulit membesar. Namun, jika situasi memburuk, kemarahan publik bisa menjadi bahan bakar utama yang tak terhindarkan.
"Gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk menuntut pemakzulan membutuhkan faktor pemicu yang lebih kuat, seperti kondisi sosial ekonomi yang menurun drastis," jelasnya.
Ini berarti, masa depan politik Gibran bisa sangat bergantung pada kemampuan pemerintahan Prabowo dalam menjaga stabilitas ekonomi. Jika gagal, 'bom waktu' ketidakpuasan publik bisa meledak kapan saja.
Sementara itu, dari sisi internal koalisi, Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai masih mengambil sikap aman. Menurut Prof. Sulfikar, Prabowo belum melihat urgensi untuk ikut campur dalam wacana pelengseran wakilnya.
"Prabowo dinilai belum memiliki kepentingan kuat untuk mendukung pemakzulan Gibran dan cenderung membiarkannya," ungkapnya.
Sikap Prabowo ini mencerminkan dinamika internal kekuasaan yang masih cair, di mana isu pemakzulan Gibran dibiarkan bergulir sebagai bagian dari lanskap politik yang kompleks.