Suara.com - Sebuah putusan pengadilan kembali menjadi buah bibir. Kali ini, vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dalam kasus korupsi impor gula, sukses menyita perhatian publik.
Bukan hanya soal angka hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, melainkan pertimbangan hakim yang dinilai tak biasa dan memicu perdebatan sengit.
Palu hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (18/7/2025) itu seolah menjadi klimaks dari drama persidangan yang telah berjalan selama berbulan-bulan.
Tom Lembong, yang sebelumnya dituntut 7 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, dinyatakan bersalah dan diwajibkan membayar denda Rp 750 juta subsider enam bulan kurungan. Namun, sorotan utama justru tertuju pada alasan di balik vonis tersebut.
Antara Kapitalisme dan Kesejahteraan Rakyat
Salah satu pertimbangan yang paling menonjol dari majelis hakim adalah penilaian bahwa kebijakan Tom Lembong selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan lebih mengedepankan sistem ekonomi kapitalis ketimbang ekonomi Pancasila.
Hakim Anggota Alfis Setiawan dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kebijakan terdakwa terkait ketersediaan dan stabilitas harga gula nasional terkesan mengabaikan kesejahteraan umum.
"Terdakwa saat menjadi Menteri perdagangan, pemegang kekuasaan pemerintahan di bidang perdagangan, kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional, lebih mengedepankan, terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan dengan sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi pancasila berdasarkan Undang-Undang 1945 yang mengedepankan kesejahteraan umum dan keadilan sosial," kata Hakim Alfis.
Hakim menilai Tom Lembong gagal menjaga stabilitas harga gula yang tetap tinggi selama masa jabatannya, dari Rp13.149 per kilogram pada Januari 2016 menjadi Rp14.213 per kilogram pada Desember 2019.
Baca Juga: Hakim Dennie Disorot Usai Vonis Tom Lembong 4,5 Tahun, dari Mana Asal Usul Harta Rp 4,3 Miliar?
Meski begitu, hakim juga mencatat beberapa hal yang meringankan, seperti Tom Lembong yang bersikap sopan, belum pernah dihukum, dan tidak menikmati hasil korupsi secara pribadi.
Reaksi dan Kejanggalan
Putusan ini sontak menuai beragam reaksi. Tom Lembong sendiri menilai putusan hakim janggal karena mengabaikan kewenangannya sebagai menteri yang diatur oleh undang-undang.

"Janggal atau aneh bagi saya sih, majelis mengesampingkan wewenang saya sebagai Menteri Perdagangan," ujar Tom Lembong usai sidang.
Ia juga menyebut hakim seolah mengabaikan fakta persidangan, termasuk keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan.
Dukungan dan kekecewaan juga datang dari berbagai tokoh. Mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, yang turut hadir di persidangan, mengaku sangat kecewa dengan putusan tersebut.
"Saya hanya akan menyampaikan empat hal. Satu, kita semua mengikuti proses persidangan ini dengan akal sehat dan yang mengikuti dengan akal sehat pasti akan kecewa, sama dengan saya. Saya pun sangat kecewa dengan keputusan ini," kata Anies.
Ia bahkan mengkhawatirkan adanya potensi kriminalisasi hukum terhadap warga negara lain jika kasus seperti ini bisa terjadi pada Tom Lembong.
Kritik tak kalah pedas datang dari Youtuber sekaligus influencer, Ferry Irwandi.

Melalui akun media sosialnya, ia secara terbuka membela Tom Lembong dan menyebut vonis tersebut tidak masuk akal.
"Beliau ditangkap kejaksaan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi, Hakim tahu beliau tidak ada niat jahat, tidak ada keuntungan pribadi yang diambil, tidak ditemukan aliran dana, impor dilakukan karena kebutuhan industri mendesak, keputusan impor ternyata dianggap tidak mempengaruhi stabilitas harga dan dia dipenjara 4,5 tahun," tulis Ferry.
Ia menganggap alasan hakim yang menyebut Tom Lembong mengutamakan ekonomi kapitalistik berada di luar nalar sehat.
Di tengah kontroversi vonis ini, sosok Hakim Dennie Arsan Fatrika pun tak luput dari sorotan.
Memiliki karier lebih dari dua dekade di dunia peradilan, Dennie tercatat memiliki harta kekayaan mencapai Rp 4,3 miliar berdasarkan LHKPN terakhir.