Suara.com - Di balik setiap fenomena viral, selalu ada seorang pelopor. Untuk guncangan sound horeg yang menggemparkan jagat maya, nama itu adalah Edi Purnomo.
Dari sebuah garasi sederhana di Ngawi, pria yang lebih dikenal sebagai Edi Sound ini menjelma menjadi legenda.
Ia bukanlah sekadar pengusaha, melainkan seorang inovator jenius yang dijuluki "Thomas Alva Edisound" oleh komunitasnya, seorang maestro yang mengubah hiburan hajatan menjadi atraksi audio spektakuler.
Ini adalah kisah perjalanannya dari nol, sebuah narasi inspiratif tentang bagaimana hasrat, keringat, dan keberanian untuk berbeda bisa melahirkan sebuah subkultur yang kini menjadi denyut nadi ekonomi kreatif di Jawa Timur.
Perjalanan Edi Sound tidak dimulai dengan kemewahan.
Pada tahun 2003, ia merintis bisnis sound system-nya dengan modal yang sederhana.
Seperti ratusan penyedia jasa lainnya, ia menyewakan perangkat audio standar untuk acara-acara kampung, mulai dari pernikahan hingga karnaval desa.
Saat itu, sound system hanyalah pelengkap—alat untuk memastikan suara MC dan musik dangdut terdengar hingga ke sudut terjauh dari kerumunan.
Namun, bagi Edi, ada sesuatu yang kurang. Ia merasakan kejenuhan pada kualitas audio yang monoton. Suara yang hanya kencang tanpa karakter terasa hampa.
Baca Juga: Inilah Edi Sound, Bapak Horeg Indonesia yang Karyanya Jadi Kontroversi
Di dalam benaknya, sebuah ide besar mulai terbentuk: bagaimana jika suara tidak hanya didengar, tetapi juga bisa dirasakan?
Momen "Aha!": Kelahiran Bass yang Menggetarkan
Dorongan untuk berinovasi menjadi titik baliknya.
Edi mulai menghabiskan waktu tanpa lelah di bengkelnya, bereksperimen dengan berbagai komponen, merakit ulang amplifier, dan menguji coba puluhan jenis speaker.
Momen "aha!" itu datang ketika ia berhasil menemukan formula yang tepat.
Ia sukses menciptakan dentuman bass yang memiliki kekuatan dan kedalaman luar biasa.
Suaranya tidak lagi sekadar memekakkan telinga, melainkan menghasilkan gelombang kejut yang merambat melalui tanah, menggetarkan bangunan, dan dirasakan langsung di dada setiap orang yang berada di dekatnya.
Sensasi fisik inilah yang menjadi cikal bakal istilah 'horeg', sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti 'bergoyang hebat'. Sebuah era baru dalam dunia audio hiburan rakyat telah lahir.
Jalan menuju kesuksesan tidaklah mulus.
Membangun sebuah sound system horeg yang kompetitif adalah pertaruhan besar, baik secara teknis maupun finansial. Edi menghadapi berbagai tantangan berat.
Secara teknis, ia harus belajar secara otodidak, mencoba-coba berbagai konfigurasi, dan tak jarang mengalami kegagalan yang merugikan.
Secara finansial, investasi yang dibutuhkan sangat besar.
Komponen berkualitas tinggi harganya tidak murah, dan daya listrik yang dibutuhkan untuk menyalakan "monster" audio ini seringkali melebihi pasokan listrik rumahan, memaksanya untuk berinvestasi pada genset berkapasitas besar.
Setiap keuntungan yang didapat seringkali langsung diinvestasikan kembali untuk riset dan pengembangan.
Bagi Edi Sound, ini bukan sekadar bisnis adu kencang.
Di balik karyanya, ada sebuah filosofi sederhana: memberikan pengalaman hiburan yang tak terlupakan bagi masyarakat biasa.
Ia melihat karyanya sebagai cara untuk membawa kegembiraan dan kebersamaan, mengubah acara desa yang sederhana menjadi sebuah pertunjukan yang spektakuler.
Fenomena yang ia ciptakan ternyata membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi Ngawi dan sekitarnya.
Keberhasilannya menginspirasi lahirnya ratusan perakit dan penyewa sound system baru. "Battle sound" menjadi panggung ekonomi kreatif, menghidupi operator, teknisi, kru angkut, hingga para pedagang kecil yang meramaikan setiap acara.
Edi Sound tidak hanya membangun sound system, ia membangun sebuah ekosistem.
Dari garasi sederhana di Ngawi, Edi Purnomo telah membuktikan bahwa inovasi bisa datang dari mana saja. Kisahnya adalah pengingat bahwa dengan hasrat dan kerja keras, seorang "Thomas Alva Edisound" bisa lahir dari tempat yang tak terduga, dan karyanya mampu mengguncang Indonesia.