Meskipun kini menyebar ke berbagai daerah, episentrum fenomena sound horeg tetap berada di Jawa Timur.
Ada beberapa alasan kultural yang membuatnya tumbuh subur di sana yakni tradisi karnaval yang kuat, di mana banyak kota dan desa di Jawa Timur memiliki tradisi karnaval dan arak-arakan yang sangat meriah.
Sound horeg menjadi cara untuk membuat kelompok mereka paling menonjol dan paling "wah" di saat karnaval tersebut.
Selain itu, ajang adu gengsi (Battle Sound) juga menjadi pemicu fenomena ini melahirkan kompetisinya sendiri.
"Battle sound" menjadi panggung bagi para pemilik sound system untuk membuktikan siapa yang memiliki rakitan paling kuat dan paling jernih.
Ini bukan lagi soal sewa, ini soal harga diri dan kebanggaan komunitas.
Bagi masyarakat, battle sound adalah hiburan kolosal yang bisa dinikmati secara gratis. Ini adalah "konser" versi mereka, sebuah pertunjukan yang lebih mengutamakan kekuatan audio daripada penampilan artis.
Inilah sedikit analisis paling menarik menjadi mengapa konten sound horeg begitu meledak di platform visual seperti TikTok dan Instagram?
Jawabannya, karena yang dijual bukanlah kualitas audionya—yang sulit dinilai melalui speaker ponsel—melainkan dampak visual dari getaran yang dihasilkannya.
Algoritma media sosial menyukai konten yang dramatis dan memancing reaksi instan.
Baca Juga: Kisah Edi Sound: Dari Garasi Ngawi Jadi 'Thomas Alva Edison' Dunia Horeg
Video sound horeg menyajikan itu semua:
Pada akhirnya, sound horeg adalah lebih dari sekadar suara keras. Ia adalah perpaduan kompleks antara inovasi teknologi audio, ekspresi budaya komunal, mesin ekonomi kreatif di tingkat akar rumput, dan fenomena digital yang tak terhindarkan. Semuanya dimulai dari visi seorang Edi Sound di garasi sederhananya.