Suara.com - Dulu, tolak ukur kesuksesan sebuah hajatan pernikahan atau sunatan mungkin adalah jumlah tamu yang datang atau kemeriahan panggung orkes melayu. Kini, parameter itu telah bergeser secara radikal.
Di banyak daerah, khususnya di Jawa, pertanyaan pertama setelah menghadiri sebuah hajatan bukan lagi "Siapa penyanyinya?", melainkan "Pakai sound apa? Seberapa sound horeg?".
Fenomena ini menandakan sebuah evolusi sosial yang mendalam.
Sound system telah bertransformasi dari sekadar penghibur menjadi penanda status sosial yang paling sahih dan terlihat.
Membayar puluhan juta rupiah untuk sewa sound bukan lagi soal hiburan, melainkan sebuah deklarasi gengsi.
Mengapa orang rela melakukannya?
Pameran Kekuatan: Semakin 'Horeg', Semakin Terpandang
Secara sosiologis, sound horeg adalah bentuk modern dari "pameran kekuatan".
Di masa lalu, seorang raja atau kepala suku menunjukkan kekuasaannya melalui istana yang megah atau pesta yang melimpah.
Baca Juga: Benarkah Rakit Satu Truk Sound Horeg Butuh Biaya Setara Sebuah Rumah Mewah?
Di era sekarang, bagi sebagian masyarakat, barisan speaker yang menjulang tinggi dan getaran bass yang mampu dirasakan hingga radius ratusan meter adalah istana dan pesta itu sendiri.
"Tuan rumah tidak hanya ingin menghibur, tapi juga ingin menunjukkan kepada seluruh desa bahwa mereka 'mampu'. Kemampuan untuk menyewa sound system termahal adalah cara paling efisien dan efektif untuk mengirimkan pesan kesuksesan itu."
Komunitas pecinta sound horeg tahu persis hierarki dan "harga pasar" dari setiap nama besar.
Mengundang sound system sekelas Brewog Audio, Riswanda Audio, atau Faskho Audio adalah sebuah pernyataan.
Ini setara dengan menggelar pernikahan di gedung mewah atau menggunakan jasa katering bintang lima.
Membayar Mahal Bukan Biaya,
Tapi Investasi: Keluarga yang rela membayar Rp 20 juta hingga Rp 50 juta lebih untuk sewa sound system semalam tidak melihatnya sebagai biaya, melainkan investasi gengsi. Pengakuan sosial yang mereka dapatkan dianggap sepadan dengan harganya.
Terdapat kasta yang jelas di dunia sound system. Menggunakan sound abal-abal bisa menjadi bahan cemoohan, sementara berhasil mendatangkan "sultan horeg" akan membuat nama keluarga sang penyelenggara hajatan harum selama berbulan-bulan.
Makin Viral
Di era digital, gengsi tidak hanya diukur saat acara berlangsung, tetapi juga setelahnya. Hajatan yang menggunakan sound horeg ternama akan menjadi konten utama di grup-grup WhatsApp warga, TikTok, dan Facebook lokal.
Mereka tidak hanya sukses di dunia nyata, tapi juga di dunia maya lokal.
"Hajatannya Pak Anu kemarin pakai Brewog, sampai kaca jendela tetangga bergetar!"
Kalimat seperti ini menjadi legenda urban lokal yang terus diceritakan, mengabadikan status keluarga penyelenggara jauh setelah acara selesai.
Ini adalah bentuk modal sosial yang sangat kuat di komunitas pedesaan dan pinggiran kota.
Perubahan ini juga mencerminkan pergeseran nilai antar generasi.
Generasi yang lebih tua mungkin lebih menghargai interaksi personal dengan biduan dangdut melalui saweran.
Namun bagi generasi muda, pengalaman yang dicari adalah sensasi dan euforia kolektif yang terinspirasi dari festival musik elektronik global.
Menyediakan pengalaman "Tomorrowland versi lokal" ini adalah cara bagi tuan rumah untuk menunjukkan bahwa mereka modern, relevan, dan mengerti selera generasi baru. Ini adalah gengsi yang didapat dari menjadi trendsetter.
Pada akhirnya, gemuruh bass dari sound horeg adalah suara dari aspirasi sosial.
Ini adalah gema dari keinginan untuk diakui, dihormati, dan dikenang. Fenomena ini membuktikan bahwa di setiap komunitas, selalu ada cara-cara unik untuk menampilkan status dan kesuksesan. Di panggung hajatan Jawa masa kini, cara itu adalah melalui dinding speaker yang megah dan getaran yang tak terlupakan.
Menurut Anda, apakah fenomena ini positif untuk membangun kebersamaan, atau justru menciptakan kesenjangan sosial baru yang tidak sehat? Bagikan pandanganmu di kolom komentar!