Suara.com - Pangan biru atau blue food dinilai mampu menjawab tantangan krisis iklim sekaligus menjaga keberlanjutan warisan kuliner Indonesia.
Gagasan ini disampaikan dalam forum “Blue Bites: A Culinary Dive into Climate-Friendly Food Solutions” yang diselenggarakan Climateworks Centre, Climate Reality Indonesia, dan IPB University di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta, Kamis (31/7).
Forum ini merupakan bagian dari The 5th International Conference on Integrated Coastal Management and Marine Biotechnology yang mempertemukan para pakar, pegiat kuliner, akademisi, dan organisasi lingkungan.
![Ilustrasi rumput laut Kaltim. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/05/12/30225-ilustrasi-rumput-laut-kaltim-ist.jpg)
Menurut Etwin Kuslati Sabarini, Program Impact Manager Oceans di Climateworks Centre, blue food mencerminkan pendekatan solusi iklim yang holistik dan berkeadilan.
“Blue food bukan hanya soal ikan atau laut. Ini adalah wujud nyata aksi iklim yang berkeadilan, menyatukan rasa, tradisi, dan transformasi. Dari apa yang kita konsumsi, kita bisa mendorong perubahan besar,” ujar Etwin seperti dikutip dari ANTARA.
Istilah blue food merujuk pada bahan pangan yang berasal dari ekosistem perairan seperti laut, sungai, dan danau. Ini mencakup ikan, rumput laut, moluska, dan krustasea.
Karena berasal dari alam perairan, pangan biru cenderung memiliki jejak karbon yang lebih rendah dan nilai gizi tinggi, sekaligus mendukung penghidupan masyarakat pesisir dan daerah perairan darat.
Dr. Tukul Rameyo Adi dari IPB University menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi pangan biru dapat membantu proses dekarbonisasi sistem pangan secara global.
“Konsumsi pangan dari laut yang berkelanjutan bisa menjadi kunci dalam menurunkan emisi dari sektor pangan, yang saat ini menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi global,” katanya.
Baca Juga: Menikmati Menu di Lesehan Selera Malam Jambi, Sambalnya Bikin Nagih
Meilati Batubara, Direktur Eksekutif NUSA Indonesian Gastronomy Foundation, menambahkan bahwa pangan biru juga memiliki nilai budaya yang kuat. “Blue food adalah jembatan antara kearifan lokal dan inovasi pangan masa depan. Kita tidak hanya bicara soal keberlanjutan, tapi juga identitas rasa Indonesia,” ucapnya.
Selain itu, forum ini juga menyoroti peran kelompok rentan, terutama perempuan, dalam rantai pasok pangan laut. Atin Prabandari, Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada menekankan bahwa perempuan selama ini memiliki kontribusi penting namun kurang terlihat dalam sektor ini. “Perempuan sering terlibat dalam pengolahan, penjualan, dan distribusi hasil laut, tetapi belum mendapat pengakuan setara,” ujar Atin.
Sebagai penutup, forum menghadirkan demo masak oleh dua koki profesional: Chef Ragil Imam Wibowo dan Chef Eko Purdjiono. Mereka menyajikan berbagai olahan modern berbasis bahan pangan biru, seperti tuna gohu, belut balado, dan siput blencong. Sesi ini menunjukkan bahwa pangan laut lokal bisa diolah menjadi sajian kreatif yang bernilai tinggi.
Forum ini menegaskan pentingnya membangun sistem pangan yang adil, sehat, dan berkelanjutan—dimulai dari kesadaran konsumen akan apa yang ada di piring mereka.
Seperti yang disampaikan Etwin, “Inilah saatnya kita melihat laut bukan hanya sebagai sumber daya alam, tapi sebagai ruang hidup dan budaya yang harus kita jaga bersama.”