Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai langkah Presiden Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong tidak bisa dipukul rata atau dianggap sebagai kebijakan yang setara.
Menurutnya, meskipun keduanya mungkin berakar dari politisasi hukum, motif dan konteks hukumnya sangat berbeda, sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda pula.
"Harus dibedain memang. Dua-duanya mungkin politisasi hukum, tapi kita masih lihat akarnya dulu," kata Bivitri, dikutip dari tayangan video di kanal YouTube Dirty Vote, Jumat (1/8/2025).
Bivitri membedah kasus yang menjerat Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang terkait dengan skandal suap Harun Masiku, seorang buronan yang kasusnya menarik perhatian nasional.
Ia berpendapat bahwa dugaan keterlibatan Hasto memiliki elemen pelanggaran hukum yang konkret, terlepas dari kapan dan mengapa kasus tersebut diusut.
"Jangan lupa kan itu kaitannya dengan Harun Masiku yang kayaknya seluruh Indonesia masih ingat orang ini masih ngilang. Jadi ada sesuatu yang memang salah dilakukan oleh Pak Hasto," imbuhnya.[1][3]
Sementara di sisi lain, Bivitri memandang kasus yang menimpa Tom Lembong lebih jelas sebagai upaya kriminalisasi terhadap kebijakan ekonomi.
Kejanggalan dalam kasus Tom, menurutnya, terlihat lebih 'telanjang' dan frontal.
"Jadi juga enggak bisa disama-samakan. kita juga harus melihatnya, menganalisisnya secara berbeda. Termasuk tadi kenapa dibeda satu abolisi satu amnesti," ucapnya.
Baca Juga: Detik-detik Kebebasan Tom Lembong, Kuasa Hukum Ungkap Suasana Haru Ini
Menurut Bivitri, pemilihan instrumen hukum yang berbeda—amnesti untuk Hasto dan abolisi untuk Tom—bukanlah sekadar perbedaan teknis, melainkan menyiratkan adanya perbedaan substansi yang mendalam.
Amnesti, jelasnya, adalah pengampunan yang umumnya diberikan dalam kasus-kasus politik atau yang mengandung ketidakadilan struktural.
Ia mencontohkan perjuangannya untuk Baiq Nuril, seorang guru di Mataram yang menjadi korban kekerasan seksual namun justru dikriminalisasi.
Sementara itu, abolisi berfungsi menghentikan seluruh proses hukum, seolah-olah sebuah kasus tidak pernah ada.
Pendekatan ini, kata Bivitri, biasanya diterapkan pada kasus yang dugaan rekayasa atau cacat hukumnya lebih mendasar dan terang-terangan.