Ketua SEMA Paramadina: Omong Kosong Bicara soal Demokrasi, Sedangkan Budayanya Masih Feodal

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Senin, 04 Agustus 2025 | 18:49 WIB
Ketua SEMA Paramadina: Omong Kosong Bicara soal Demokrasi, Sedangkan Budayanya Masih Feodal
Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas Paramadina, Hudan Lil Muttaqien. (tangkap layar/ ist)
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada, Tiyo Ardianto, menawarkan sebuah analogi yang tajam yakni rule of the game, untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini: sebuah permainan yang aturannya telah dirusak. (tangkap layar/dok. Abraham Samad)
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada, Tiyo Ardianto, menawarkan sebuah analogi yang tajam yakni rule of the game, untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini: sebuah permainan yang aturannya telah dirusak. (tangkap layar/dok. Abraham Samad)

Di sisi lain, Ketua BEM UGM, Tiyo Ardianto, menyuarakan kekhawatirannya terhadap iklim demokrasi yang dirasa semakin represif. Ia menyoroti bagaimana kritik yang dilontarkan mahasiswa dan warga seringkali dihadapi dengan kekerasan oleh aparat.

"Gelagat pemerintah yang dirasa takut dengan kritik dan alergi dengan demokrasi," ujar Tiyo, menggambarkan respons negara terhadap perbedaan pendapat.

Tiyo juga mengungkap adanya bentuk represi yang lebih halus, yakni represi ideologis.

Upaya ini, menurutnya, bertujuan untuk memecah belah dan melemahkan gerakan mahasiswa dari dalam.

"Represi yang dialami oleh para mahasiswa dan para warga tidak hanya secara fisik. Represi ideologis dirasakan oleh mahasiswa sebagai upaya memecah belah gerakan mahasiswa. Dengan cara baru, tidak dengan tangan aparat kepolisian, melainkan dengan tangan mahasiswa lainnya," jelasnya.

Bentuk represi ini bisa berupa pembatasan kegiatan, pengawasan di lingkungan kampus, hingga kriminalisasi melalui undang-undang seperti UU ITE.

Fenomena ini, ditambah dengan intervensi elit politik dalam forum-forum mahasiswa, dinilai mencederai independensi dan marwah gerakan mahasiswa sebagai kekuatan penjaga moral publik.

Kritik Hudan juga menyasar kondisi penegakan hukum di Indonesia yang ia anggap paradoks. Di satu sisi, Indonesia adalah negara hukum, namun di sisi lain, hukum terasa bisa diperjualbelikan dan dijadikan alat untuk menekan lawan politik.

Hal ini menggerus kepercayaan publik terhadap institusi peradilan dan supremasi hukum.

Baca Juga: Blak-blakan Selamat Ginting: Era Jokowi Diwarnai Pembegalan Partai Politik, Demokrasi dalam Bahaya!

Menghadapi berbagai tantangan ini, masa depan demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan. Partisipasi aktif dan kritis dari generasi muda menjadi kunci untuk mendorong perubahan menuju demokrasi yang lebih substantif dan berkeadilan.

Namun, tanpa adanya perbaikan fundamental dalam tata kelola pemerintahan, penegakan hukum, dan budaya politik, cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur akan semakin jauh dari harapan.

Reporter : Nur Saylil Inayah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI