"Kami rasa ini tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh akun pemerintah, apalagi dilakukan oleh Diskominfo dan Humas Jabar, lembaga yang seharusnya mendidik publik dalam hal digital," kata perwakilan Wakca Balaka, Iqbal T. Lazuardi.
Sementara itu, Gubernur Dedi Mulyadi membantah telah melakukan doxing. Ia berkilah tidak menyebut nama dan hanya berniat menjawab tuduhan pengerahan buzzer.
"Saya kan harus menjelaskan dong bahwa tidak ada anggaran di Provinsi Jawa Barat untuk bayar buzzer. Kalau hari ini muncul berbagai komen atau keinginan dari warga, itu murni keinginan mereka dan saya enggak bisa larang dan enggak bisa menyuruh," kata Dedi.
Pakar komunikasi publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), FX Ari Agung Prastowo, menyayangkan insiden ini. Menurutnya, kepala daerah tidak semestinya alergi terhadap kritikan dan harus memanfaatkannya untuk membangun kebijakan yang lebih baik.
"Sesungguhnya yang lebih utama atau penting adalah bagaimana menyusun kebijakan dan program itu berbasis riset," tegas Ari. "Artinya bahwa suara dari publik ini adalah bagian dari riset itu sendiri yang harus didengarkan, dianalisis, diwujudkan dalam program-program atau kebijakan-kebijakan di pemerintahan."
Ari mengingatkan, pekerjaan rumah bagi kepala daerah adalah menunjukkan etika komunikasi politik yang baik, terutama di ruang virtual.
"Kepala daerah harus betul-betul ikut merasakan apa yang menjadi persoalan publik," kata Ari. "Dengan demikian akan tercipta hubungan baik antara pemerintah dengan warganya."