Suara.com - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengungkapkan bahwa kini dunia demokrasi sudah mengalami banyak perubahan.
Salah satunya yaitu tradisi untuk mengungkapkan pendapat. Dulu hanya orang-orang atau kelompok elit saja yang berani berbicara di depan kamera.
“Kita memahami bahwa dunia demokrasi, dunia telekomunikasi mengalami perubahan,” ujar Dedi, dikutip dari tiktoknya @dedimulyadiofficial, Sabtu (2/8/25).
“Dulu yang berbicara di depan kamera, bicara menggunakan microphone itu hanya kaum elit. Elit organisasi, elit politik dan berbagai kelompok elit lainnya yang menguasai panggung- panggung secara terbuka,” tambahnya.
Kini zaman sudah mulai berubah, tidak hanya elit politik, masyarakat luas sudah mulai berani berbicara di depan kamera dan disebarluaskan di sosial media.
“Hari ini seiring dengan era digital, semua orang bisa berbicara di platform media sosialnya masing-masing, sehingga menjadi panggungnya rakyat,” ujarnya.
Melihat banyak perubahan yang terjadi, Dedi Mulyadi berpesan agar para warganet yang mendukung visi misinya untuk tidak berbuat seenaknya sendiri.
Seperti contohnya merespon para pengkritik sang Gubernur dengan sikap yang tidak ramah. Dedi Mulyadi berharap mereka menjauhi sikap tidak ramah tersebut.
“Tetapi saya berpesan kepada seluruh warganet, terutama yang seiring dan sejalan dengan visi yang saya miliki, jangan galak-galak ya,” ungkapnya.
Baca Juga: Anggap Orang Nge-gym Goblok, Timothy Ronald Mau Dibawa Dedi Mulyadi ke Barak Militer
“Kalau ada yang mengkritik saya, jangan digalakin,” sambungnya.
Menurut Dedi, semakin banyak pendukungnya yang melawan para pengkritik secara frontal, dirinya justru semakin dituduh mengerahkan buzzer.
“Karena semakin digalakin, saya semakin dituduh ngerahin buzzer, hahaha,” ungkapnya.
Dedi mengakui jika selama ini telah berhasil membangun ikatan emosi dengan para warganet yang merasa sependapat dengannya.
“Padahal selama ini kita membangun ikatan emosi bukan karena uang, tetapi karena rasa dan karena cinta,” ungkapnya.
“Kalau kita berbicara dengan lidah maka diterimanya oleh telinga, tapi kalau bicara dengan hati maka diterimanya oleh rasa,” sambungnya.
Dedi berharap baik dirinya maupun semua warganet yang berada dibelakangnya tetap menjadi pribadi yang selalu menggunakan hati, rasa hingga cinta dalam berucap.
“Semoga kita adalah komunitas atau orang atau golongan atau kelompok atau warganet yang selalu menggunakan hati, menggunakan rasa, dan menggunakan cinta dalam berucap,” ucapnya.
Dedi Mulyadi dikritik Dosen
Sejumlah kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi untuk anak-anak sekolah selalu menjadi perdebatan tersendiri.
Salah satu aturan yang masih diperdebatkan adalah mengenai jam masuk sekolah, yaitu puul 6.30 WIB.
Jam masuk tersebut sudah diberlakukan sejak Masa Pengenalan Lingkungan Satuan Pendidikan (MPLS).
Bukan hanya anak-anak SMP dan SMA, aturan tersebut juga diberlakukan untuk anak-anak yang berada di Tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Selain itu, Dedi Mulyadi juga memperbolehkan kelas gemuk, seperti mengisi ruang kelas maksimal 50 siswa.
Hal itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat.
Aturan kelas gemuk ini hanya berlaku untuk jenjang SMA dan SMK.
Bukan tanpa alasan, menurut Dedi aturan itu diterapkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah sekolah negeri.
Sedangkan, para orangtua siswa mayoritas tidak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.
Dua kebijakan yang begitu mencolok itu mendapat kritik keras dari Ibu Popon Sumarni.
Dalam video yang beredar, pihaknya mengeluhkan tentang jumlah siswa yang ditampung dalam satu kelas.
Ia juga menyinggung soal aturan jam masuk sekolah yang kini menjadi lebih pagi. Pihaknya khawatir jika para guru lebih fokus dalam mendidik para murid, sehingga anaknya sendiri tidak terurus.
Video tersebut sontak mendapat atensi dari Dedi Mulyadi. Pihaknya memberikan tanggapan melalui akun tiktoknya @dedimulyadiofficial.
Dedi Mulyadi menyinggung soal Ibu Popon Sumarni bukanlah tenaga pengajar di Tingkat SMA, melainkan seorang dosen.
“Buat ibu Popon Sumarni, saya mengucapkan terima kasih atas curhatnya dan saya sangat kagum terhadap ibu begitu mencintai Pendidikan,” ujar Dedi.
“Setelah saya menganalisis wajah ibu, ternyata seinget saya dan sepengetahuan saya, ibu adalah seorang dosen bukan seorang guru SMA,” tambahnya.
Dedi Mulyadi meminta agar pendapat Ibu Popon Sumarni disampaikan di forum yang tepat. Saat ditelusuri, Ibu Popon Sumarni kala itu berbicara di reses Ummi Siti, anggota DPRD Jawa Barat Fraksi PKS.
Lelaki yang akrab disapa Kang Dedi ini juga mengkritik agar sebaiknya ibu Popon Sumarni berbicara sebagai pengamat atau praktisi Pendidikan.
Kontributor : Kanita