Suara.com - Rencana Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening bank yang tidak aktif selama lebih dari tiga bulan atau yang disebut rekening dormant, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.
Salah satu yang paling vokal adalah Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan.
Krisantus menyebut kebijakan tersebut tidak hanya tidak tepat, namun juga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurutnya, langkah pemblokiran sepihak terhadap rekening yang tidak menunjukkan aktivitas transaksi dapat merugikan masyarakat, khususnya di wilayah pedalaman Kalimantan Barat.
![Kepala PPATK Ivan Yustiavandana usai mengikuti rapat di Istana Kepresidenan bersama Presiden Prabowo Subianto dengan sejumlah menteri, Selasa (30/7/2025). [Suara.com/Novian]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/30/79091-kepala-ppatk-ivan-yustiavandana.jpg)
“Itu melawan Hak Asasi Manusia,” tegas Krisantus saat melakukan kunjungan ke Sekretariat DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali, Kamis (31/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa banyak warga di Kalimantan Barat, terutama yang tinggal di wilayah pelosok, membuka rekening bank bukan untuk keperluan transaksi digital seperti transfer atau belanja daring, melainkan sebagai sarana menabung jangka panjang.
Dalam banyak kasus, akses terhadap internet bahkan masih menjadi kemewahan.
“Apalagi kami di Kalbar tidak semua punya internet, tidak semua punya jaringan internet. Masih banyak daerah blankspot," jelasnya.
"Jadi orang-orang di kampung itu bikin rekening hanya ingin nyimpan uang di situ. Tidak punya internet, nah kalau dibekukan, itu coba, itu kan hak pribadi mereka,” lanjut Krisantus.
Krisantus menilai bahwa pemblokiran rekening yang dianggap tidak aktif tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial masyarakat merupakan tindakan gegabah.
Baca Juga: Viral Masyarakat Tarik Uang Banyak dari Perbankan, Ini Respons Kepala PPATK
Ia mengingatkan bahwa langkah seperti itu justru berpotensi menimbulkan gejolak sosial di daerah.
Lebih lanjut, Krisantus menyampaikan kekhawatirannya jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan secara nasional tanpa pengecualian atau penyesuaian terhadap kondisi daerah seperti Kalimantan Barat.
“Kalau ini terjadi di Kalbar, saya akan bersuara keras. Bahkan saya akan minta rakyat untuk turun aksi. Ini api dalam sekam,” ujarnya.
Ia pun meminta pemerintah pusat dan otoritas terkait untuk tidak gegabah dalam merumuskan kebijakan publik, terlebih jika menyangkut kepentingan langsung masyarakat daerah yang memiliki realitas berbeda dengan perkotaan.
“Pada prinsipnya, saya tidak setuju. Seharusnya kebijakan seperti itu tidak dikeluarkan,” pungkasnya.