Apakah pendekatan hukum yang kaku adalah jawaban yang tepat untuk fenomena budaya seperti ini?
Sikap permisif kepala daerah seperti di Bantul dan Solo menunjukkan adanya pemahaman yang lebih kontekstual terhadap realitas di lapangan.
Mereka tidak melihatnya sebagai ancaman, melainkan sebagai dinamika sosial yang bisa dikelola dengan komunikasi dan aturan yang jelas, seperti larangan mengibarkannya lebih tinggi dari Merah Putih.
Lantas, apakah benar mengibarkan bendera dari cerita fiksi bisa secara otomatis menghilangkan rasa nasionalisme?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Nasionalisme adalah sebuah konsep yang kompleks dan internal.
Bagi banyak penggemar, memasang bendera One Piece tidak menggantikan kecintaan mereka pada Indonesia.
Keduanya eksis di ranah yang berbeda: satu sebagai identitas kebangsaan, yang lain sebagai identitas subkultur.
Alih-alih dianggap sebagai ancaman, fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah.
Ini adalah sinyal tentang bagaimana generasi muda mengekspresikan diri di era globalisasi.
Baca Juga: Salah Baca Zaman? Pakar Sebut Pemerintah Gagal Paham Bahasa Gen Z di Balik Bendera One Piece
Melarangnya secara membabi buta justru bisa menimbulkan antipati.
Langkah yang lebih bijak adalah merangkulnya sebagai bagian dari kreativitas, sambil terus mengedukasi pentingnya penghormatan terhadap simbol negara.
Dialog, bukan larangan, adalah kunci untuk memastikan euforia budaya pop dapat berjalan beriringan dengan semangat kebangsaan yang kokoh.