Suara.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, membunyikan alarm tanda bahaya. Data survei nasional terbaru mengungkap fakta mengerikan; satu dari dua anak dan satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan.
Namun, angka ini tak tercermin dalam laporan resmi. Ini adalah fenomena gunung es yang menunjukkan bahwa mayoritas korban masih terlalu takut dan tidak merasa aman untuk melapor.
Data yang dipaparkan Menteri Arifah menunjukkan jurang yang sangat dalam antara realitas di lapangan dengan kasus yang tercatat.
- Survei Nasional (Realita):
- Satu dari empat perempuan (usia 15–64 tahun) pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.
- Satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan.
- Data Laporan Resmi (Simfoni PPA):
- Hanya tercatat 14.039 kasus kekerasan hingga Juli 2025.
Meskipun angka laporan resmi ini menunjukkan lonjakan 2.000 kasus hanya dalam 17 hari, jumlahnya tetap sangat kecil dibandingkan temuan survei nasional. Ini membuktikan bahwa ribuan, bahkan jutaan, kasus kekerasan tidak pernah terungkap.
Menurut Arifah Fauzi, kesenjangan data ini adalah sinyal kuat bahwa sistem perlindungan yang ada belum mampu memberikan rasa aman bagi para korban untuk berani bersuara.
"Ini menunjukkan bahwa korban masih sulit bicara dan belum merasa aman untuk melapor,” kata Arifah saat Rapat Evaluasi Kinerja di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Sebagai respons, pemerintah kini tengah memperkuat Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA) yang melibatkan lintas kementerian untuk memastikan program perlindungan dan pemulihan berjalan lebih konkret di lapangan.
Baca Juga: Bejat, Ayah di Demak Siksa Balita Minum Air Kloset karena Stres Kalah Judi
Tantangan ini juga diakui oleh pihak penegak hukum. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Asep Nana Mulyana, mengungkapkan fakta pilu lainnya; banyak korban, terutama anak-anak, bahkan tidak menyadari bahwa mereka adalah korban.
“Sering kali korban tidak menyadari dirinya sebagai korban," ungkap Asep Nana.
Kejaksaan Agung yang telah membentuk direktorat khusus untuk menangani perkara anak dan TPPO ini pun meminta dukungan dari KemenPPPA untuk memperkuat pemahaman korban.
"Kami butuh dukungan KemenPPPA untuk memperkuat pemahaman korban agar bisa memberikan kesaksian dengan aman, tanpa tekanan, dan dengan pendampingan yang tepat,” ujarnya.
Pengakuan ini menegaskan bahwa perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal edukasi dan penciptaan ruang aman bagi para korban.