Suara.com - Ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Serang menjadi saksi bisu dari sebuah ironi keadilan pada Rabu (6/8/2025). Di satu sisi, seorang remaja pembunuh berinisial MDR (17) dituntut hukuman maksimal.
Di sisi lain, tuntutan maksimal itu hanyalah 10 tahun penjara, sebuah angka yang terasa seperti luka baru bagi keluarga korban, Ipat Fatimah (26), yang dibunuhnya secara keji dengan sebuah palu.
Sidang tuntutan yang digelar secara tertutup ini sontak memicu jeritan kecewa dari keluarga korban.
Mereka merasa hukuman tersebut sama sekali tidak setimpal dengan nyawa yang telah direnggut secara brutal, membuka kembali perdebatan sengit antara perlindungan hukum bagi anak dan rasa keadilan bagi korban.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang menuntut MDR dengan hukuman 10 tahun penjara.
Meskipun terdakwa dijerat dengan pasal pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP, yang ancamannya bisa mencapai hukuman mati bagi orang dewasa, angka 10 tahun itu adalah batas paling atas yang bisa diberikan.
Kasubsi I Intelijen Kejari Serang, Muhammad Siddiq, memberikan penjelasan hukumnya. Status MDR sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) membuatnya dilindungi oleh Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
"Sudah maksimal karena ABH (anak berhadapan hukum), maksimalnya itu kan setengah dari maksimal pidana bagi terdakwa dewasa," kata Siddiq, Rabu (6/8/2025).
Aturan inilah yang menjadi tembok hukum. Seberat apapun kejahatannya, hukuman bagi pelaku di bawah umur tidak bisa disamakan dengan pelaku dewasa. Tuntutan 10 tahun, secara yuridis, adalah yang paling berat yang bisa diajukan jaksa.
Baca Juga: Tangisan di Teras Rumah Pecah Hening Malam di Ciruas, Bayi Perempuan Ditinggalkan Begitu Saja
Namun, penjelasan hukum tersebut tak mampu meredam amarah dan duka keluarga korban. Bagi mereka, keadilan terasa masih sangat jauh.
Paman korban, Mukit, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya yang mendalam saat ditemui di luar ruang sidang.
"Kecewa lah hukuman segitu, kalau menurut keluarga, harapannya hukuman mati. Kalau bisa darah dibayar darah," kata Mukit.
Ungkapan darah dibayar darah menjadi cerminan luka dan keinginan keluarga agar pelaku merasakan hukuman yang benar-benar setimpal. Rasa kehilangan yang mereka alami terasa tak sebanding dengan hukuman satu dekade di penjara.
Kekecewaan keluarga sangat beralasan jika mengingat kembali kekejian yang terjadi pada Sabtu (5/7) lalu. Ipat Fatimah ditemukan tewas mengenaskan di dalam kios BRILink miliknya di Kecamatan Pabuaran. Kondisinya sangat mengerikan, dengan sebuah palu masih menancap di pipi kirinya.
Polisi yang bergerak cepat berhasil mengidentifikasi MDR sebagai pelaku berkat rekaman kamera CCTV di sekitar lokasi.