"Aku masih hidup, tapi tidak dengan adik, ayah, dan emakku. Tsunami itu membawa mereka pergi meninggalkanku sebatang kara," tulisnya.
Sejak hari itu, hidupnya adalah perjalanan sunyi dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya. Cita-citanya terkubur bersama puing-puing rumahnya.
Kini, 21 tahun setelah tragedi itu, pria yang telah beranjak dewasa ini masih membawa luka yang sama.
Luka itu begitu dalam hingga ia tak sanggup lagi menjejakkan kaki di tanah kelahirannya.
"Meskipun sudah 21 tahun lamanya, aku tetap tidak berani ke Banda Aceh. Ada rasa tidak sanggup untuk mengenang peristiwa itu," tutupnya.
Kisah trauma tsunami ini dengan cepat menjadi viral, memicu lautan empati dari warganet.
Kolom komentar dibanjiri doa dan semangat, menjadi bukti bahwa duka seorang individu bisa menjadi pengingat kolektif.

"Semangat ya mas, mereka semua di surga nungguin nanti ketemu lagi," tulis seorang warganet, mencoba memberi kekuatan.
Kisahnya adalah monumen hidup dari sebuah tragedi, sebuah pengingat abadi tentang kekuatan alam dan kerapuhan manusia.
Baca Juga: BRIN Ungkap Tsunami Raksasa Pernah Terjadi di Selatan Jawa, Apa Risiko yang Mesti Diwaspadai?