Sejarah Negara Riau Merdeka: Gugatan Keadilan dari Jantung Sumatera yang Terluka

Muhammad Yunus Suara.Com
Jum'at, 08 Agustus 2025 | 16:28 WIB
Sejarah Negara Riau Merdeka: Gugatan Keadilan dari Jantung Sumatera yang Terluka
Kolase logo Negara Riau Merdeka dan Mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra [Suara.com]

Suara.com - Di tengah hiruk pikuk reformasi yang mengguncang Indonesia pada akhir 1990-an, sebuah suara lantang terdengar dari jantung Pulau Sumatera.

Bukan sekadar teriakan protes biasa, melainkan sebuah deklarasi yang menuntut kemerdekaan.

Inilah kisah Gerakan Riau Merdeka, sebuah babak penting dalam sejarah politik Indonesia yang lahir dari akumulasi kekecewaan, rasa ketidakadilan, dan perjuangan atas martabat sebuah negeri yang kaya raya namun merasa terpinggirkan.

Bagi generasi milenial dan anak muda saat ini, gagasan sebuah provinsi di Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan mungkin terdengar ekstrem.

Namun, untuk memahami mengapa Riau Merdeka pernah menjadi wacana yang begitu kuat, kita perlu kembali ke akar persoalannya.

Ketimpangan ekonomi dan sentralisasi kekuasaan yang mencekik pada era Orde Baru.

Akar Kekecewaan: Ketika Emas Hitam Tak Menyejahterakan

Selama puluhan tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, Riau dikenal sebagai lumbung energi Indonesia.

Perut buminya kaya akan minyak dan gas, sementara hutannya menghasilkan kayu-kayu bernilai tinggi.

Baca Juga: Eks BIN: Ada Rapat Tertutup Bahas Proklamasi Negara Riau Merdeka

Ironisnya, kekayaan alam yang melimpah ini seolah hanya menjadi kutukan bagi rakyatnya.

Pemerintah pusat di Jakarta dianggap mengeruk habis sumber daya alam Riau, namun hanya menyisakan remah-remah pembangunan untuk masyarakat setempat.

Bayangkan, Riau menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar negara dari sektor migas, tetapi infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan di sana tertinggal jauh dibandingkan dengan Pulau Jawa.

Perasaan ini diperparah dengan dominasi elite politik dan birokrasi yang kerap "diimpor" dari pusat, membuat putra-putri daerah merasa terasing di tanah kelahiran mereka sendiri.

Perlawanan ini muncul karena daerah merasa kekayaan sumber daya alamnya dirampas oleh pusat tanpa mendapatkan hak yang layak.

Salah satu peristiwa yang menjadi pemantik awal adalah kejadian pada 2 September 1985, ketika calon gubernur pilihan rakyat Riau, Ismail Suko, dikalahkan oleh calon yang didukung pemerintah pusat, Mayjend TNI Imam Munandar, meski telah memenangkan suara di DPRD Riau.

Insiden ini menorehkan luka mendalam dan menjadi simbol bagaimana hak-hak politik masyarakat Riau diabaikan oleh Jakarta.

Euforia Reformasi dan Lahirnya Gerakan

Runtuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998 membuka kotak pandora. Euforia kebebasan dan demokrasi menjalar ke seluruh pelosok negeri, termasuk Riau.

Momentum ini dimanfaatkan oleh para aktivis mahasiswa, intelektual, dan tokoh masyarakat untuk menyuarakan tuntutan yang selama ini terpendam.

Diskusi-diskusi panas digelar oleh aliansi pers mahasiswa dari berbagai kampus di Riau.

Awalnya, tuntutan utama adalah pembagian hasil minyak yang lebih adil. Namun, ketika janji pemerintah pusat, yang saat itu dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie, untuk memberikan 10% dana bagi hasil tak kunjung terealisasi, kesabaran pun habis.

Dalam sebuah diskusi pada 7 Maret 1999, seorang tokoh pemuda bernama Fauzi Kadir melontarkan ide radikal: "Riau Merdeka".

Gagasan ini kemudian disambut dan didukung oleh seorang tokoh kharismatik dan vokal, Profesor Tabrani Rab.

Tabrani, seorang dosen dan intelektual yang dikenal peduli pada kaum tertindas, menjadi motor penggerak utama gerakan ini.

Puncaknya terjadi pada 15 Maret 1999. Di kediamannya di Pekanbaru, Tabrani Rab secara resmi mendeklarasikan Gerakan Riau Merdeka.

Ia bahkan dijuluki sebagai "Presiden Riau Merdeka" oleh para pendukungnya.

Deklarasi ini sontak menarik perhatian nasional dan internasional, menempatkan Riau dalam peta politik Indonesia yang sedang bergejolak.

Perjuangan Damai dan Diplomasi

Penting untuk dicatat bahwa Gerakan Riau Merdeka berbeda dengan gerakan separatis lain di Indonesia seperti di Aceh atau Papua.

Tabrani Rab secara tegas menolak jalan kekerasan dan penggunaan senjata.

"Saya menolak pula adanya sayap-sayap militan yang dapat berhadapan dengan ABRI," kata Tabrani dalam pidatonya.

Ia percaya bahwa perjuangan bisa dimenangkan melalui jalur damai dan diplomasi.

Bahkan, ketika para panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menawarinya pasokan senjata dari Libya, Tabrani dengan tegas menolaknya.

Gerakan ini lebih merupakan sebuah gugatan politik dan moral terhadap ketidakadilan.

Istilah yang sering digunakan Tabrani adalah "Riau Berdaulat" untuk menghindari konflik dan pertumpahan darah.

Konsep-konsep mengenai kedaulatan Riau bahkan dikirimkan kepada para duta besar asing dan tokoh politik internasional.

Surutnya Gerakan dan Warisan Perjuangan

Meski sempat menghebohkan, gerakan Riau Merdeka tidak pernah benar-benar menjadi ancaman serius bagi kedaulatan NKRI.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal tahun 2000 menganggap gerakan ini "tidak ada apa-apanya".

Seiring berjalannya waktu dan implementasi kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih besar serta porsi dana bagi hasil yang lebih baik kepada daerah, tuntutan merdeka pun perlahan meredup.

Gerakan Riau Merdeka akhirnya lebih banyak berkutat pada level wacana dan tidak berkembang menjadi gerakan politik yang masif. Namun, warisannya tetap hidup.

Gerakan ini menjadi pengingat keras bagi pemerintah pusat bahwa keadilan ekonomi dan partisipasi politik adalah fondasi utama persatuan bangsa.

Sejarah Riau Merdeka adalah pelajaran berharga tentang bagaimana sentralisasi kekuasaan yang berlebihan dan eksploitasi sumber daya alam tanpa keadilan dapat memicu perlawanan.

Bagi anak muda Indonesia, kisah ini bukan sekadar catatan kelam masa lalu.

Melainkan cermin untuk terus mengawal agar kekayaan alam Indonesia benar-benar digunakan untuk kemakmuran seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke.

Tanpa ada lagi daerah yang merasa terluka dan terpinggirkan.

Sekelompok orang disebut-sebut akan memproklamasikan Negara Riau Merdeka, menjelang perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2025 mendatang.

Hal tersebut diungkap mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra.

Tuduhan serius ini ia sampaikan dalam sebuah siniar yang tayang di kanal YouTube Forum Keadilan TV pada Kamis, 7 Agustus 2025, dan sontak memicu polemik di tengah masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI