Suara.com - Setiap 17 Agustus, sorak-sorai penonton menggema saat sekelompok pemuda berlumuran oli berjuang menaklukkan sebatang pohon pinang dalam sebuah perlombaan panjat pinang.
Pemandangan yang penuh tawa, semangat, dan gotong royong ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan kemerdekaan Indonesia.
Namun, tahukah Anda bahwa di balik kemeriahannya, panjat pinang menyimpan sejarah kelam sebagai hiburan kaum penjajah untuk menertawakan penderitaan pribumi?
Lomba yang kita kenal sebagai panjat pinang ini ternyata berakar dari tradisi era kolonial Belanda.
Mereka menyebutnya 'de klimmast', yang secara harfiah berarti 'memanjat tiang'.
Acara ini sering kali diadakan pada perayaan hari-hari besar Belanda, seperti ulang tahun Ratu Wilhelmina, sebagai tontonan bagi para pejabat dan warga Eropa.
Cemoohan yang Berubah Menjadi Perayaan
De klimmast pada masanya adalah cerminan hierarki sosial yang kejam.
Para meneer dan noni Belanda sengaja menggantungkan hadiah-hadiah yang tergolong mewah bagi pribumi, seperti keju, gula, tepung, hingga pakaian, di puncak tiang yang sangat licin.
Baca Juga: 5 Lipstik Merah Cetar Bikin Pede di Lomba 17 Agustus Cuma Modal Rp25 Ribu
Pemandangan rakyat jelata yang berjuang susah payah sementara para penjajah menonton dari kursi nyaman sambil tertawa menjadi potret buram penindasan kala itu.
Batang pohon pinang yang tinggi dan licin adalah metafora dari rintangan yang mustahil dilewati.
Sementara hadiah di puncaknya adalah ilusi kesejahteraan yang sengaja digantungkan oleh kolonial untuk dipertontonkan. Lomba ini menjadi arena bagi penjajah untuk menegaskan superioritas mereka.
Transformasi Makna: Dari Penghinaan menjadi Gotong Royong
Lantas, bagaimana sebuah simbol penghinaan bisa bertransformasi 180 derajat menjadi lambang perjuangan dan kerja sama?
Di sinilah letak kehebatan bangsa Indonesia dalam merebut kembali narasi sejarahnya.
Setelah kemerdekaan, masyarakat tidak serta-merta menghapus tradisi ini.
Sebaliknya, mereka mengadopsi dan mengubah total filosofi di baliknya.
Jika dulu panjat pinang adalah tontonan tentang individu yang saling menjatuhkan, kini lomba ini menjadi mustahil dimenangkan tanpa kerja sama tim.
Tidak ada satu orang pun yang bisa mencapai puncak sendirian. Para peserta harus rela menjadi 'tangga' bagi rekannya, menahan beban di pundak, dan menyusun strategi bersama.
Orang yang berada di paling bawah adalah pondasi, sama pentingnya dengan orang yang berada di puncak.
Batang pinang yang licin tidak lagi dilihat sebagai rintangan yang memalukan, melainkan sebagai tantangan yang harus ditaklukkan bersama. Ini adalah cerminan dari perjuangan para pahlawan yang harus bersatu padu, mengorbankan ego, demi satu tujuan mulia: kemerdekaan.
Meskipun hadiah di puncak tetap menarik, esensi panjat pinang modern terletak pada prosesnya. Tawa, keringat, dan semangat kebersamaan selama proses memanjat itulah kemenangan yang sesungguhnya.
Kini, panjat pinang menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak diraih dengan mudah.
Butuh pengorbanan, kerja sama, dan semangat pantang menyerah—nilai-nilai yang sama yang dipertontonkan oleh para peserta di lapangan setiap tanggal 17 Agustus.
Jadi, ketika Anda menyaksikan lomba panjat pinang tahun ini, ingatlah bahwa Anda tidak hanya melihat sebuah permainan.
Anda sedang menyaksikan sebuah sejarah yang direbut kembali, sebuah filosofi perjuangan yang diwariskan, dan bukti nyata bahwa semangat gotong royong adalah DNA bangsa yang tak akan pernah lekang oleh waktu.
Bagaimana menurutmu?
Apakah panjat pinang harus terus dilestarikan sebagai pengingat sejarah, atau sudah saatnya kita mencari permainan baru yang tidak memiliki latar belakang kelam?
Bagikan pendapatmu di kolom komentar di bawah ini! #PanjatPinang #Sejarah17an #GotongRoyong