Suara.com - Sebuah manuver politik tingkat tinggi baru saja dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang secara resmi memberikan abolisi kepada Thomas "Tom" Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Keputusan ini sontak menjadi perbincangan panas, memunculkan pertanyaan besar tentang titik temu antara rekonsiliasi politik dan integritas penegakan hukum.
Menurut Pengamat Politik, Gotfridus Goris Seran, langkah yang diambil Presiden Prabowo ini tidak bisa dilepaskan dari nuansa politik yang sangat kental. Meskipun konstitusional, keputusan ini dinilai sebagai pedang bermata dua yang bisa menyatukan elite, namun di sisi lain berisiko mencederai rasa keadilan publik.
Upaya Merangkul Lawan Politik Demi Pembangunan
Goris Seran menjelaskan bahwa kewenangan Presiden untuk memberikan abolisi (penghentian proses hukum) dan amnesti (pengampunan umum) memang dijamin oleh konstitusi.
"Biasanya tujuan pemberian abolisi dan amnesti adalah dalam rangka rekonsiliasi nasional. Tom Lembong dan Hasto Kristianto dipandang sebagai representasi kekuatan di luar pemerintahan," kata Goris pada Kamis, 7 Agustus 2025.
![Kolase foto Prabowo, Tom Lembong, Hasto, dan Jokowi. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/03/75821-kolase-foto-prabowo-tom-lembong-hasto-dan-jokowi-ist.jpg)
Langkah ini, menurutnya, adalah sinyal kuat dari Istana untuk meredakan tensi pasca-Pilpres 2024. Tom Lembong dikenal sebagai figur sentral di kubu Anies Baswedan, sementara Hasto adalah motor penggerak utama di koalisi Ganjar Pranowo.
Dengan "membebaskan" keduanya dari jerat hukum, Prabowo seolah sedang membuka pintu lebar-lebar.
"Presiden ingin merangkul semua komponen bangsa menjadi suatu kekuatan yang solid untuk berfokus pada pembangunan bangsa," lanjutnya.
Baca Juga: Sahabat Seperjuangan! Anies Baswedan Dampingi Tom Lembong Ungkap Momen Sureal Kejutan Tengah Malam
Muatan Politik yang Lebih Kuat dari Hukum
Goris menekankan adanya perbedaan fundamental antara mekanisme abolisi/amnesti dengan grasi/rehabilitasi, yang membuat keputusan ini menjadi sangat politis.
"Hal ini bisa diinterpretasi ada nuansa politiknya. Berbeda dengan grasi dan rehabilitasi yang memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (muatan hukum) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945, abolisi dan amnesti memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (muatan politik)," jelas dia.
Dengan kata lain, keputusan ini lebih banyak didasarkan pada pertimbangan dan lobi politik di parlemen ketimbang pertimbangan yuridis murni dari lembaga peradilan. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa langkah ini adalah bagian dari sebuah grand design politik yang lebih besar.
Risiko Degradasi Kepercayaan Publik
![Terdakwa kasus dugaan suap Pergantian Antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan, Hasto Kristiyanto meninggalkan Rutan Kelas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, Jakarta, Jumat (1/8/2025). [ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/bar]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/01/43427-hasto-kristiyanto-hasto-kristiyanto-bebas.jpg)
Di sinilah letak risiko terbesarnya. Kendati bertujuan mulia untuk persatuan, pengambilan keputusan yang sarat nuansa politik ini dinilai bisa mendegradasi kepercayaan publik (public trust) terhadap sistem hukum.