Meski memahami urgensi yang disuarakan golongan muda, ia menganggap proses yang terstruktur tetap penting untuk menjaga persatuan bangsa.
3. Desakan Golongan Muda
![Pekerja menyelesaikan mural bertemakan Proklamasi di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pondok Aren 02, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (22/7/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/07/22/49388-mural-proklamasi.jpg)
Ketegangan meningkat sehari kemudian, pada 15 Agustus 1945. Sejumlah pemuda yang dipimpin Wikana, pembantu Ahmad Subardjo, mendatangi rumah Soekarno.
Mereka menuntut agar proklamasi dilakukan tanpa menunggu rapat PPKI. Suasana pertemuan memanas, dengan nada bicara yang tegas dan mendesak dari pihak pemuda.
Bagi golongan muda, penundaan berarti kehilangan momentum. Mereka khawatir jika Sekutu atau kekuatan asing lain masuk ke Indonesia terlebih dahulu, kemerdekaan akan sulit tercapai tanpa negosiasi yang merugikan.
4. Kekhawatiran Soekarno-Hatta
![Ilustrasi pengedaran Bendera Merah Putih saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. [IST]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/08/17/32886-ilustrasi-pengedaran-bendera-merah-putih-saat-proklamasi-kemerdekaan-republik-indonesia-ist.jpg)
Meski mendapat tekanan keras, Soekarno dan Hatta tetap teguh pada pendirian mereka. Ada dua alasan besar yang membuat mereka menolak terburu-buru.
Pertama, faktor keamanan: tentara Jepang di Indonesia masih bersenjata lengkap, dan langkah sepihak dikhawatirkan memicu bentrokan bersenjata yang bisa mengorbankan banyak nyawa.
Kedua, faktor legitimasi politik: mereka ingin kemerdekaan diumumkan melalui PPKI agar diakui sebagai keputusan nasional, bukan hasil tekanan kelompok tertentu.
Baca Juga: Benarkah Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945? Ini Faktanya
Menurut mereka, kemerdekaan yang lahir dari konsensus akan memiliki pondasi yang lebih kokoh untuk masa depan negara.
5. Situasi di Lapangan

Menariknya, Soekarno-Hatta sebenarnya sudah mengetahui tanda-tanda menyerahnya Jepang. Hatta dan Subardjo bahkan menemukan kantor Gunseikanbu atau pusat administrasi Jepang sudah kosong.
Namun, konfirmasi resmi sulit diperoleh karena pernyataan Laksamana Maeda, perwira penghubung Jepang, tidak memberikan kepastian yang jelas.
Kondisi ini membuat mereka memilih langkah yang lebih hati-hati. Bagi mereka, proklamasi adalah momen sekali seumur hidup yang harus dilakukan dengan perhitungan matang, bukan hanya didorong oleh emosi sesaat.
6. Akhir Perdebatan dan Jalan Menuju Kemerdekaan 17 Agustus