Suara.com - Industri perfilman Indonesia diguncang oleh sebuah skandal yang baunya semakin menyengat.
Amarah sutradara Hanung Bramantyo telah membuka kotak pandora yang jauh lebih gelap dari sekadar kritik kualitas film.
Kini, tuduhan mengarah pada dugaan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) setelah film animasi "Merah Putih: One For All" secara ajaib disebut "sukses" menyerobot antrean lebih dari 200 judul film lainnya untuk tayang di bioskop.
Ini bukan lagi sekadar persaingan bisnis.
Ini adalah pertanyaan tentang integritas, keadilan, dan adanya "kekuatan tak terlihat" yang merusak ekosistem sinema Tanah Air.
Dari Kritik 'Cor Kasar' Menuju Tudingan 'Orang Dalam'
Semua berawal dari analisis teknis Hanung yang menyebut film berbiaya Rp 7 miliar ini mustahil berkualitas baik, ia bahkan menyamakannya dengan bangunan yang baru selesai "cor-coran kasar".
Namun, bara menjadi api ketika film yang dianggap "belum jadi" ini justru mendapatkan karpet merah menuju layar lebar.
Keberhasilan inilah yang memicu kecurigaan terbesar.
Baca Juga: Berapa Harga Aset Animasi di Reallusion Content Store? Disebut Mirip Film Merah Putih One for All
Di saat ratusan sineas harus berjuang, mengemis, dan menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan jadwal, film ini melenggang dengan mudah.
Pertanyaan yang kini bergaung di kalangan para pelaku industri adalah: Siapa "orang kuat" di belakangnya?
Mekanisme 'Serobot Antrean': Membongkar Borok Industri
Bagi penonton, mungkin sulit membayangkan betapa perebutan layar bioskop. Namun, inilah kenyataan yang dihadapi para sineas:
Ada lebih dari 200 film Indonesia yang saat ini berada dalam "daftar tunggu", nasibnya terkatung-katung menunggu keputusan dari tim programmer jaringan bioskop.
Setiap film harus melewati presentasi, negosiasi bagi hasil, dan penilaian potensi pasar yang bisa memakan waktu sangat lama.