suara hijau

ASEAN 'Perlu Percepat Transisi Energi' untuk Hindari Kerentanan Geopolitik, Kata Pakar

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 14 Agustus 2025 | 11:16 WIB
ASEAN 'Perlu Percepat Transisi Energi' untuk Hindari Kerentanan Geopolitik, Kata Pakar
Ilustrasi transisi energi. (Pexels/Kervin Edward Lara)

Suara.com - Seorang pakar hubungan internasional memperingatkan bahwa negara-negara ASEAN harus mempercepat transisi dari bahan bakar fosil atau berisiko terjebak dalam dinamika politik dan ekonomi global yang semakin tidak menentu.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, menyatakan ketergantungan kawasan ini pada energi fosil membuatnya rentan terhadap gejolak geopolitik.

Berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, ia mendesak ASEAN untuk segera bertindak, menyebutnya sebagai "tantangan dan keterbatasan, sekaligus peluang" bagi kawasan.

“Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk mempercepat upaya transisi energinya. Ini adalah tantangan dan keterbatasan, sekaligus peluang di ASEAN, yang juga dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi global,” katanya.

Ilustrasi energi baru terbarukan (EBT). (ICDX)
Ilustrasi energi baru terbarukan (EBT). (ICDX)

'Tiga Keterbatasan Utama'
Meskipun ASEAN telah menunjukkan komitmen terhadap agenda iklim, Shofwan menyoroti tiga hambatan utama yang memperlambat laju transisi energi di kawasan.

  • Institusional: Prioritas yang beragam antar negara anggota, kewenangan sekretariat ASEAN yang terbatas, serta agenda energi dan iklim yang terfragmentasi menghambat kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.
  • Politik: Masih kuatnya pendekatan bisnis seperti biasa (business-as-usual), ambisi yang terbatas, dan prioritas yang lebih besar pada agenda pembangunan ekonomi menghalangi kerja sama regional yang lebih dalam di bidang energi terbarukan.
  • Keuangan: Infrastruktur pendanaan untuk proyek energi bersih di kawasan ini masih sangat terbatas, meskipun ada momentum positif di tingkat global.

“Investasi global dalam energi terbarukan telah melampaui investasi dalam bahan bakar fosil, meskipun masih sangat terbatas di kawasan ini. Namun, momentum global terus berkembang,” ucap Shofwan, mengisyaratkan adanya peluang yang belum dimanfaatkan.

Terjebak di Tengah Rivalitas AS-China

Proses transisi energi ASEAN semakin rumit akibat rivalitas geopolitik yang kian tajam, terutama antara Amerika Serikat dan China.

Shofwan menjelaskan bahwa persaingan ini dapat mengganggu rantai pasok global dan menurunkan investasi energi bersih, khususnya dalam sektor mineral kritis—komponen vital untuk teknologi energi terbarukan seperti baterai dan panel surya.

Baca Juga: Ketergantungan Batu Bara Hambat Transisi Energi, Filantropi Diminta Turun Tangan

Sebagai contoh, ia menunjuk pada kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan AS untuk memantau pasokan mineral kritis.

"AS merasa cukup rentan di sektor mineral kritis karena rantai pasoknya didominasi oleh China," ujarnya. Kondisi ini, menurutnya, akan memengaruhi cara negara-negara besar mendekati negara-negara ASEAN yang kaya akan sumber daya ini.

Di sisi lain, kekuatan Barat juga mulai menggunakan platform seperti Kelompok Pemasok Nuklir (NSG) untuk mengatur perdagangan teknologi dan material strategis, yang berpotensi membatasi pilihan bagi negara-negara di luar lingkaran mereka.

Visi Bersama atau Kehilangan Daya Tawar

Menghadapi tekanan dari berbagai arah, Shofwan menekankan bahwa satu-satunya jalan bagi ASEAN adalah mengembangkan visinya sendiri yang solid dan terpadu dalam mengelola transisi energi, termasuk tata kelola mineral kritis.

Tanpa adanya inisiatif bersama, ia memperingatkan bahwa negara-negara anggota akan berada dalam posisi tawar yang lemah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI