Suara.com - Di tengah gegap gempita perayaan 80 tahun kemerdekaan, sebuah proyek ambisius dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk menulis ulang Sejarah Nasional Indonesia justru menuai kritik tajam. Aktivis HAM dan sejarawan, Ita Fatia Nadia, menilai proyek ini adalah sebuah operasi politik terencana untuk menghapus suara para korban dari lembaran sejarah kelam bangsa.
Menurut Ita, pemerintah seolah mencoba membangun citra Indonesia hebat dengan cara mengubur dalam-dalam memori kolektif tentang tragedi berdarah masa lalu.
Ita Fatia Nadia mengkritik keras momentum dari proyek ini. Di saat rakyat sedang terjerat kemiskinan akibat gelombang PHK dan ekonomi yang tidak stabil, pemerintah justru sibuk dengan proyek identitas.
"Situasi kemiskinan, situasi yang tidak menentu ini dijawab dengan satu penulisan sejarah... yang memberikan pandangan baru tentang kehebatan Indonesia yang tidak berpijak pada fakta sejarah yang menegasikan suara korban," kata Ita dalam konferensi pers di Kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Ita mengingatkan kembali serangkaian dosa-dosa masa lalu yang telah meninggalkan trauma mendalam dan belum pernah diselesaikan secara tuntas oleh negara. Mulai dari Peristiwa 1965, Peristiwa Aceh, konflik Poso, hingga pemerkosaan massal saat tragedi kerusuhan Mei 1998.
"Trauma yang ditinggalkan oleh penguasa negeri ini adalah trauma sosial, trauma yang sangat mendalam yang menjadi kolektif memori dari bangsa ini," ujarnya.
Memori kolektif inilah, menurutnya, adalah arsip hidup yang tidak bisa dihapus begitu saja.
"Dan suara korban mempunyai hak untuk didengar, karena dia bagian dari perjalanan sejarah ini," tegasnya.
Proyek Fadli Zon Akan Hilangkan Suara Korban
Baca Juga: Penundaan Proyek Buku Sejarah Ala Fadli Zon Demi Sukseskan Gelar Pahlawan Ayah-Kakek Prabowo?
Alih-alih menyembuhkan luka lama, pemerintah justru dinilai memilih jalan pintas dengan menulis ulang sejarah versi penguasa. Langkah ini, menurut Ita, adalah upaya sistematis untuk membungkam para korban selamanya.
"Dan apa yang terjadi? Penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia akan menghilangkan suara-suara korban sebagai arsip yang hidup dan menumpuk dalam perjalanan bangsa ini," kritiknya.
Pada akhirnya, Ita menolak mentah-mentah proyek penulisan ulang sejarah ini. Baginya, 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momen bagi bangsa Indonesia untuk berani berkata jujur dan mengakui masa lalunya yang kelam.
"Ini adalah sebuah tanggung jawab moral kita semua... waktunya kita untuk berkata jujur dan menyatakan kita sebagai bangsa yang mempunyai masa lalu yang kelam dan kita harus bertanggung jawab pada apa yang telah terjadi pada bangsa ini," tegasnya.
"Saya kira itulah 80 tahun kemerdekaan dan kita harus juga mengembalikan seluruh ingatan-ingatan kolektif yang ada dan yang hidup selama ini," pungkasnya.