Suara.com - Di sebuah persimpangan yang bising dekat Gedung DPR RI, tepat di jantung legislasi negara, sebuah bendera merah putih kecil berkibar lesu di tiang seadanya.
PEMANDANGAN ini merupakan ironi visual yang menusuk; simbol kedaulatan bangsa kontras dengan realitas perjuangan hidup yang terpampang nyata di bawahnya.
Di kawasan itu, Iwan, seorang pria berkaus lusuh, berdiri melambaikan tangan, seolah menjadi dirijen bagi pengendara roda dua yang nekat menerobos kemacetan.
Iwan bukan petugas resmi yang diakui pemerintah dalam 'mengatur lalu lintas'.
Ia merupakan bagian dari fenomena urban yang akrab disapa 'Pak Ogah', pengatur lalu lintas informal yang hidup dari recehan para pengendara.
Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, telah mereka sulap menjadi jalur alternatif saat jam sibuk—sebuah inovasi ilegal yang kerap disebut sebagai 'tol trotoar'.
Praktik ini memang menuai pro-kontra. Netizen dengan mudah melayangkan hujatan, sementara pihak berwenang tak segan melakukan penertiban.
Bahkan, belum lama ini, 4 rekan Iwan ditangkap setelah aksi mereka menjadi viral di media sosial.
Namun, bagi para pengendara yang diburu waktu, jalur ini menjadi 'solusi terbaik' menyiasati semrawutnya lalu lintas ibu kota.
Baca Juga: 80 Tahun Merdeka, Suara Wajib Pajak Menggema: Pajak Sudah Dibayar, Keadilan Sosial Mana?
Bak gayung bersambut, hal itu bagi Iwan serta rekannya, Arif, menjadi berkah satu-satunya sebagai sumber nafkah harian menyambung hidup keluarga.
“Ya kalau sore ramai, kami bisa dapat 50 ribu sampai 70 ribu,” kata Arif sembari matanya awas mengamati arus kendaraan yang tak pernah putus.
Di usianya yang hampir paruh baya, Iwan menanggung hidup bersama istrinya yang bekerja serabutan di dekat rel kereta api Palmerah.
Nasib membawanya ke persimpangan jalan ini setelah pandemi Covid-19 merenggut pekerjaannya di sebuah percetakan.
Korban PHK
Ia menjadi satu dari jutaan korban PHK yang terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup.
“Akhirnya ya di sini, jadi Pak Ogah. Nggak ada pilihan lain,” ujarnya pasrah.
Paradoksnya, saat Iwan dan Arif berjibaku di bawah terik matahari dan kepulan asap knalpot, negara yang mereka diami akan merayakan hari jadinya yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 mendatang.
Namun, gema perayaan dan slogan 'Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju' terasa hampa dan jauh dari mereka.

Bagi Iwan, tak ada yang istimewa dari hari kemerdekaan; itu hanyalah pengulangan hari-hari sebelumnya, kembali melanggar aturan demi mengais receh.
Ketika ditanya apa makna kemerdekaan baginya, jawabannya memunculkan skeptisisme yang lahir dari kerasnya kehidupan.
Baginya, yang merdeka adalah negara sebagai sebuah entitas, bukan individu-individu di dalamnya, apalagi orang sepertinya.
"Kemerdekaan apa ya? Ya hari kemerdekaan Indonesia. Gitu saja kan nggak ada bedanya," ujar Iwan.
Selama menjalani hidup sebagai 'orang susah' di negara yang merdeka, Iwan merasa tak pernah tersentuh oleh uluran tangan pemerintah.
Bantuan terasa seperti mitos, sebuah janji yang tak pernah sampai ke tangannya.
"Gini-gini aja. Nggak ada tuh bantuan pemerintah. Mau saya kena PHK juga sekarang cari duit juga sendiri aja," tutur Iwan.
Pun serupa dengan rekan seperjuangan Iwan, Arif. Ia menimpali dengan kisah hidup yang tak jauh berbeda dirasakan Iwan.
Arif terpaksa meninggalkan bangku sekolah menengah atas demi membantu ekonomi keluarga.
Berbagai pekerjaan kasar telah ia lakoni, dari kenek angkot hingga buruh bongkar muat, sebelum akhirnya terdampar di persimpangan yang sama dengan Iwan.
Retorika Agustusan
Baginya, kemerdekaan hanya retorika agustusan yang tak pernah terwujud dalam sepiring nasi untuk keluarganya.
Perasaan ditinggalkan oleh negara menjadi sebuah sentimen yang nyata.
“Yang saya rasain, ya kita tetap susah. Pemerintah kayak nggak lihat orang-orang kayak kami,” kata Arif.
Selain di 'tol trotoar' dekat Gedung DPR RI, keduanya juga kerap beroperasi di dekat Flyover Slipi.
Lokasi-lokasi strategis ini menjadi arena pertaruhan mereka, tempat di mana arus kendaraan padat berarti ada peluang lebih besar untuk mendapatkan uang kecil dari mereka yang ingin perjalanannya lebih lancar.
Meski sepenuhnya sadar bahwa pekerjaan mereka ilegal dan berisiko, Iwan dan Arif mengaku terjepit oleh keadaan.
![Pak Ogah dekat gedung DPR RI, Iwan. Ia merupakan salah satu korban PHK saat Pandemi Covid-19. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk bekerja menjadi pak ogah. [Suara,com/Fakhri]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/17/33776-pak-ogah-dekat-gedung-dpr-ri-iwan.jpg)
Pilihan menjadi 'Pak Ogah' bukanlah sebuah keinginan, melainkan sebuah keterpaksaan.
"Kalau nggak begini, mau makan apa? Saya juga maunya kerja bener, tapi nggak ada yang nerima,” ujar Iwan.
Sore itu, di bawah bayang-bayang bendera kecil yang berkibar di ujung trotoar, mereka kembali sibuk memberi aba-aba.
Bagi Iwan dan Arif, kemerdekaan masih terasa jauh, bahkan ketika seluruh negeri merayakannya dengan gegap gempita.
Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.