Suara.com - Sekretaris Jenderal Partai Golkar M Sarmuji menyambut positif kabar pembebasan bersyarat mantan Ketua DPR Setya Novanto dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat (Jabar).
Sarmudji sendiri berharap Setya Novanto bisa menjalani kehidupan yang lebih baik lagi.
"Pak Novanto sudah menjalani pemasyarakatan sebagai bekal saat menjalani hidup normal," kata Sarmuji kepada Suara.com, Senin (18/8/2025).
Secara tersirat, Sarmudji menyimpan harapan kepada manta ketua umumnya tersebut untuk dapat mengambil pelajaran dari proses hukum yang telah dijalaninya.
"Insya Allah lebih baik," katanya.
![Sekjen Partai Golkar M Sarmudji. [Suara.com/Bagaskara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/03/07/28183-sekjen-partai-golkar-m-sarmudji.jpg)
Meski disambut positif oleh Partai Golkar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons kabar tersebut dengan nada yang berbeda.
Lembaga antirasuah itu mengingatkan bahwa kejahatan yang dilakukan Setya Novanto bukanlah perkara ringan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa korupsi e-KTP adalah salah satu kejahatan paling serius yang pernah terjadi di Indonesia.
Menurutnya, dampak korupsi tersebut sangat masif dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, mengganggu salah satu pilar administrasi kependudukan negara.
Baca Juga: ICW Murka 'Papa Minta Saham' Bebas Bersyarat: Hartanya Tak Disita, Masih Bisa Pelesiran!
"Bicara perkara itu (korupsi eKTP), kita kembali diingatkan sebuah kejahatan korupsi yang serius, dengan dampak yang benar-benar langsung dirasakan hampir seluruh masyarakat Indonesia,” kata Budi kepada wartawan, Senin (18/8/2025).
“Karena tidak hanya besarnya nilai kerugian negara, tapi juga secara massif mendegradasi kualitas pelayanan publik,” tambah dia.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hal tersebut merupakan bentuk nyata kemunduran agenda pemberantasan korupsi.
"Pembebasan SN pada kasus korupsi pengadaan eKTP yang menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp2,3 triliun merupakan bentuk dari kemunduran agenda pemberantasan korupsi,” kata Peneliti ICW, Wana Alamsyah, dalam keterangannya kepada Suara.com, Senin (18/8/2025).
Ada dua alasan yang menjadikan pembebasan Setnov sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pertama, para aparat penegak hukum gagal menerapkan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam menelusuri aliran dana perkara tersebut.