Suara.com - Di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menghantui sejumlah sektor industri di Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melemparkan sebuah data yang mengejutkan sekaligus kontroversial.
Ia menyatakan bahwa meskipun ada puluhan ribu pekerja yang kehilangan pekerjaan, perekonomian nasional secara keseluruhan berhasil menciptakan jutaan lapangan kerja baru.
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan tajam, memicu perdebatan sengit di ruang publik, terutama di media sosial.
Bagi sebagian orang, data ini adalah angin segar yang menunjukkan ketahanan dan pertumbuhan ekonomi.
Namun bagi sebagian besar lainnya, terutama mereka yang merasakan langsung sulitnya mencari pekerjaan, angka tersebut terasa seperti anomali yang jauh dari kenyataan.
Dalam sebuah forum ekonomi yang terekam kamera, Sri Mulyani dengan lugas memaparkan data ketenagakerjaan tersebut.
Ia mencoba memberikan gambaran besar (makro) mengenai kondisi ekonomi yang mungkin tidak tertangkap oleh pandangan masyarakat secara parsial.
Menurutnya, dinamika ekonomi memang selalu diwarnai oleh adanya perusahaan yang mengurangi karyawan (downsizing) dan di sisi lain ada sektor baru yang justru tumbuh dan menyerap tenaga kerja.
"Menkeu: Ada PHK 75 Ribu, Tapi Ada Penciptaan Lapangan Kerja Baru 3,5 Juta".
Baca Juga: Senyum Sri Mulyani di Tengah Gema 'Turunin Pajak' dan Target Ambisius Rp 2.357 Triliun
Angka 75 ribu PHK, meskipun terdengar besar dan tragis bagi mereka yang terdampak, menurut data pemerintah ternyata tidak sebanding dengan angka penciptaan lapangan kerja baru yang mencapai 3,5 juta.
Pernyataan ini secara implisit menyampaikan pesan bahwa secara agregat, pasar tenaga kerja Indonesia masih sangat sehat dan ekspansif.
Namun, di sinilah letak jurang pemisah antara data statistik dan persepsi publik.
Di saat berita mengenai PHK massal di industri tekstil, startup teknologi, hingga pabrik-pabrik padat karya terus bermunculan, klaim adanya 3,5 juta pekerjaan baru menimbulkan satu pertanyaan besar di benak masyarakat: "Di mana?"
Warganet dengan cepat merespons pernyataan ini dengan nada skeptis. Kolom komentar di berbagai platform media sosial dibanjiri oleh curahan hati para pencari kerja.
Banyak yang mempertanyakan kualitas dari 3,5 juta "lapangan kerja baru" tersebut. Apakah itu mencakup pekerjaan di sektor informal seperti pengemudi ojek online, kurir logistik, atau pedagang di e-commerce yang seringkali tidak memberikan jaminan keamanan kerja dan pendapatan yang stabil?
Kritik pedas pun tak terhindarkan. Komentar seperti, "3,5 juta itu pasti termasuk yang jadi admin judi online," atau "Kerja apa dulu Bu? Gaji UMR tapi tuntutan selangit?" ramai dilontarkan.
Sentimen ini mencerminkan frustrasi kolektif dari generasi muda dan usia produktif (18-45 tahun) yang merasa persaingan mencari kerja yang layak semakin hari semakin sulit.
Fenomena ini menyoroti adanya "gap" atau kesenjangan antara data makroekonomi yang disajikan oleh pemerintah dengan realitas mikro yang dirasakan oleh individu.
Secara statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) mungkin mencatat setiap aktivitas ekonomi yang menghasilkan pendapatan sebagai "pekerjaan".
Namun bagi masyarakat, "pekerjaan" yang ideal adalah pekerjaan formal dengan gaji yang layak, jenjang karier yang jelas, serta jaminan sosial.
Kesenjangan definisi inilah yang seringkali menjadi sumber miskomunikasi dan ketidakpercayaan publik terhadap klaim pemerintah.